Iman D. Nugroho
Bisa jadi, tulisan ini adalah tulisan paling tidak islami di Bulan Ramadhan. Hanya sebuah catatan kecil tentang aktivitas berpuasa yang sama sekali tidak "perkasa". Benar, tidak hebat, hanya sebuah keinginan untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim. Tidak berpikir untuk mengejar pahala, dan begitu rapuh untuk dibatalkan. Solusi untuk itu, saya memilih tidur panjang di siang hari. Betapa tidak islaminya,..
Hari-hari menjelang puasa, selalu menjadi waktu bagi kaum muslimin untuk mengingatkan betapa pentingnya Bulan Ramadhan. Bahkan, dikenal pula istilah nisfu sya'ban sebelum menuju ke Bulan Ramadhan. Di berberapa daerah, Bulan Ramadhan bahkan disambut dengan gegap gempita. Dengan berbagai upacara syukuran secara massal, tradisional dan penuh makna.Di ingatkan pula tentang bebagai keunggulan bulan itu. Semua serba istimewa.
Saya, mungkin sebagian kecil manusia muslim yang kurang bisa merasakan gairah beribadah di Bulan Ramadhan. Tak perlu buru-buru mengecap dengan sebutan muslim "palsu", tapi setidaknya ada kejujuran dalam pengakuan ini. Ketika Bulan Ramadhan tiba, yang terbayang di benak saya adalah sebuah ritual tidak makan-minum di siang hari. Dan tentu saja, itu bukan hal yang mudah. Mengingat load pekerjaan sebagai orang lapangan. Mungkin, orang-orang yang bekerja di sektor kasar dan membutuhkan peran fisik, akan lebih bisa merasakan hal itu.
"Ah, buktinya meski puasa, aku kuat kok melalukan aktivitas seperti biasa," kata seorang kawan. Lho, bukankah setiap orang dikaruniai kekuatan fisik yang berbeda- beda? Artinya, mungkin kuat untuk yang satu, tapi tdak kuat untuk yang lain. Namun, kondisi itu tidak membuat Bulan Ramadhan menjadi diabaikan. Sebagai seorang muslim, terima atau tidak, tetap menjalankan puasa di bulan itu. Hanya saja, kesadaran tentang kekuatan fisik itu, membuat saya melakukan berbagai modifikasi kebiasaan. Yakni tidur di siang hari, dan terjaga sepanjang malam.
Dan lagi-lagi, kebiasaan itu menciptakan sinisme. "Kalau cuma tidur, tentu saja kuat. Lalu makna puasanya di mana?" kata seorang kawan. Hmm :( reaksi semacam ini sungguh membingungkan. Orang-orang seperti saya, yang memilih tidur (tapi tetap berpuasa) dari pada bangun tapi tidak puasa, tetap saja dianggap salah. Yang paling parah, hal itu memunculkan pertanyaan lain,"Bagaimana dengan kami, orang-orang yang kerja kantoran, pagi harus tetap masuk dong!" Nah, kalau itu, tentu saja menjadi urusan sampeyan-sampeyan. Saya yakin, orang-orang muslim yang tetap ingin berpuasa (tapi merasakan betul ketidakenakan-nya), memiliki solusi sendiri.
Misalnya, meluangkan waktu untuk istirahat saat sholat Dhuhur dan Ashar. Lumayankan? Ada waktu 5-15 menit untuk merebahkan diri sebentar di mushola atau masjid, untuk mengumpulkan tenaga, dan kemudian kembali beraktivitas. Atau, dengan 'kreativitas" masing-masing, sedikit "mencuri" waktu sebentar untuk tidur di kantor. Sambil sandaran dikursi, atau tertelungkup di atas meja. Solusi ini agak-agak membahayakan, dan beresiko kena semprot si bos.
Apapun dan bagaimana pun caranya, poin terpenting dalam tulisan ini adalah, mendorong kreativitas kita dalam mempertahankan puasa. Meski saya akui, dalam sejarah hidup saya, selalu ada mokel (membatalkan puasa di siang hari) saat Bulan Ramadhan. Saya tahu itu ilegal. Tapi,..udah ah. Mungkin untuk yang satu ini, alasannya ada di dalam hati.
Btw, selamat berpuasa.
*photo by internet
No comments:
Post a Comment