*10 Tahun Pasca Jajak Pendapat
Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna [untuk The Jakarta Post]
Maria Dacosta tiba-tiba menangis. Air mata perempuan 31 tahun itu mengalir ketika bercerita tentang nasib anaknya, Modestina de Araujo yang kini berusia 1,1 tahun. Modestina divonis dokter busung lapar dan umurnya hanya dalam hitungan hari. Mendengar itu, Maria hanya bisa pasrah. Tidak adanya biaya membuat Maria membiarkan saja Modestina menjemput nasib. "Tidak ada lagi uang, hanya mengandalkan pemberian orang sambil terus berdoa," kata Modestina yang kini tinggal menumpang di salah satu penduduk di Oebelo, Kupang Timur.
Maria Dacista bisa jadi merupakan salah satu pengungsi eks Timor Timur yang terlunta nasibnya. Sejak memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia dan mengungsi pada tahun 1999, Maria dan keluarganya tidak pernah keluar dari jerat kemiskinan. Apalagi, ketika suaminya, Domingus Dacosta meninggal karena penyakit paru-paru, ketika keluarga itu sedang berjuang untuk mendapatkan rumah sebagai tempat tinggal. Maria pun hidup menumpang di salah satu saudaranya.
Rumah tempat perempuan asli Viqueque Timtim dan keenam anaknya tinggal pun sangat sederhana. Beratap alang-alang dan berdinding kayu reyot, rumah tumpangan yang terletak di areal resutlement itu terlihat miring ke kiri. Lantainya tanah dengan kayu-kayu lapuk sebagai peembatas ruangan. Kamar mandi terbuka terletak di bagian luar. Balai-balai kayu di bagian depan difungsikan sebagai ruang tamu dan tempat berteduh saat panas menyengat di siang hari.
Apa yang dialami Maria dan kekuarganya, menurut Winston Rondo, Direktur Center for IDP's Service (CIS) Timor-NGO yang concern dalam hal pengungsi eks Timtim- adalah gambaran dari belum tuntasnya persoalan pengungi eks Timtim.Waktu terjadinya pengungsian yang sudah bertahun-tahun berlalu membuat perhatian pemerintah kepada pengungsi pun memudar. "Dari sisi nama saja, sudah diganti dengan menyebut mereka sebagai warga baru atau WNI keturunan Timtim, ini sebutan yang melemahkan," kata Winston pada The Jakarta Post.
CIS melihat, apa yang terjadi pada pengungsi eks Timtim ini adalah upaya mempertahankan hidup semata. Mereka juga merupakan kelompok yang sudah kehabisan pilihan. Opsi kembali dan menjadi warga Timor Leste sekarang sudah tidak ada lagi. Ada traumatik dari pilihan tahun 1999 lalu. Meski di tanah baru NTT, kondisi mereka tidak lebih baik. Dalam catatan CIS, pemerintah RI pernah dengan sadar mengingkari hak-hak pengungsi dengan menghentikan bantuan kepada pengungsi pada tahun 2002.
Bantuan perumahan yang dianggap sebagai "bantuan terakhir" yang digawangi oleh banyak kementerian pemerintah RI termasuk TNI, justru banyak yang tidak bermanfaat. Pembangunan rumah memunculkan peluang adanya konflik lahan dengan warga lokal. Oebelo, Kupang adalah contoh buruk akan hal ini. Di lokasi yang awalnya dibangun dengan dana bantuan Jepang senilai Rp. 51 miliar dengan fasilitas air bersih dan gereja sebagai kompensasi untuk warga lokal ini menuai persoalan ketika rumah pengungsi dibangun sangat berdekatan.
Dalam pengamatan The Jakarta Post di lokasi resutlement di wilayah Weliura, Atambua, kondisi memang jauh dari harapan. Rumah-rumah berukuran 4x6 itu dibangun dperbukitan. Jalan masih berupa batuan kapur yang licin bila hujan menggugur wilayah itu. Tanpa listrik dan air. "Semua yang ada di sini kami penuhi secara swadaya," kata Esperanza Lopes, penduduk setempat. Termasuk sebuah sekolah sederhana yang ada di bagian tengah wilayah resutlement itu. Sekolah berdinding dan berbangku kayu lapuk. Sebagian dindingnya berlubang di makan usia. Di sekolah inilah murid-murid sekolah dasar di Weliura akan segera memulai tahun ajaran barunya tahun ini.
Persoalan juga muncul ketika para pengungsi eks Timtim bekerja untuk hidup. Bila di Timor Leste mereka punya tanah untuk digarap sebagai ladang atau sawah, tidak demikian di NTT. Mereka menyewa tanah dari penduduk lokal dan menggarapnya. Untuk pengungsi yang tidak memiliki cukup uang, hal itu jelas tidak bisa dilakukan. Belum lagi muncul stigma di masyarakat tentang sosok pengungsi eks Timtim yang merupakan orang kasar dan tanpa kompromi. Stigma itu memunculkan ketidaksenangan di masyarakat lokal. "Juga, ada kecemburuan dari masyarakat lokal kepada pengungsi eks Timtim karena sering mendapatkan bantuan, ketidaksenangan itu memunculkan penolakan," kata Dionato Moriera, staff CIS wilayah Atambua. Pernah ada program bantuan dari UNHCR berupa pengadaan perahu nelayan untuk komunitas pengungsi dari Lospalos, Baukau dan Viqueque. "Bantuan ini justru menghangatkan konflik antar kelompok" kata Winston dari CIS Timor.
Dari berbagai hal itulah, perlu adanya upaya sistematis untuk mengubah nasib pengungsi eks Timtim. Negosiasi lahan dengan pendekatan adat dengan warga lokal menjadi hal yang paling penting. Lahan dapat dipakai untuk membangun rumah agar memindahkan pengungsi dari kamp dan resutlement yang tidak layak. Negosiasi ini juga akan mengurangi terjadinya penyerobotan tanah. Pendekatan adat pulalah yang akan mengangkat posisi pengungsi menjadi lebih baik. Hingga tak ada lagi pengungsi yang terluntas seperti Maria Dacosta dan keenam anaknya.
foto dan teks foto by Iman D. Nugroho:
1. Perumahan resutlement di Weliura, Atambua, Timor Barat.
2. Maria Dacosta dan anak-anaknya.
No comments:
Post a Comment