*10 Tahun Pasca Jajak Pendapat
Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna [untuk The Jakarta Post]
Bayangan hitam itu terus bertambah dekat. Mateus Guedes yang sedang sibuk mengatur rombongan pro-integrasi untuk mengungsi ke perbatasan Mota'ain menaruh curiga. Teriakan perintah untuk berhenti mengendap tidak dihiraukan. Bayangan itu tetap mendekat. Dan,..dor-dor-dor! Senapan rakitan yang saat itu dipegang Meteus pun menyalak. Bayangan itu roboh. "Saya tidak tahu, apakah tembakan itu mengenainya atau tidak, kami terus melanjutkan evakuasi," kenang Mateus Guedes, mantan anggota Aitara wilayah Dili pada The Jakarta Post.
Peristiwa 10 tahun lalu, tepatnya pada bulan September 1999 masih dikenang oleh Meteus. Saat itulah, Mateus dan puluhan ribu warga Timor Timur pro Integrasi harus rela meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengungsi ke Nusa Tenggara Timur (NTT), provinsi tetangga Timor Timur. Jajak Pendapat yang dilakukan di Timor Timur menghasilkan kemerdekaan bagi Timor Leste. "Saat itu pilihannya hanya mengungsi, atau terbunuh," kata Mateus.
Peristiwa merdekanya Timor Timur yang sudah 23 berintegrasi dengan Indonesia sepuluh tahun lalu memang diwarnai dengan darah. Masyarakat Timor-Timur yang terbelah menjadi dua, pro integrasi dan pro kemerdekaan masing-masing saling serang. Kelompok pro integrasi dengan Indonesia terbagi dalam kelompok-kelompok Pejuangan Pembela Integrasi (PPI). Seperti Tim Alfa (Lautem), Saca/Sera (Bacau), Makikit (Vequeque), Ablai (Manufahi), AHI (Aileu), Mahidi (Ainaro), Laksaur (Covalima), Aitara (Dili), Sakunar (Ambeno), BMP (Liquisa), Hahilintar (Bobonaro), Jati Merah Putih (Lospalos) dan Darah Merah Putih (Ermera). Sementara pihak pro-kemerdekaan bersatu dengan sayap militer partai politik Timor Leste.
Tidak ada jumlah yang pasti menyangkut pengungsi pro-integrasi yang masuk ke NTT. Setidaknya, tak kurang dari 100 ribu jiwa termobilisasi masuk ke NTT saat itu. Sebagian dari mereka membuat kamp pengungsi di beberapa kawasan di Kecamatan Belu. Sementara yang lain menyebar sampai ke TTU dan ke Kupang. Mereka menempati tanah-tanah kosong yang ada di sana. Mulai lahan persawahan, stasion, laddang jagung hingga bukit-bukit. Mateo sendiri memilih tinggal di Atambua, Kecamatan Belu. Bersama keluarga besarnya yang pada tahun 1975 sudah ada yang mengungsi di tempat itu.
Masuk daerah baru, dengan kondisi nol, adalah masalah bagi pengungsi eks Timtim ketika itu.Hiruk pikuk politik nasional di Jakarta saat itu, membuat persoalan pengungsi Timtim sempat terlupakan. Tidak terhitung lagi berapa kali muncul peristiwa tragis di pengungsian dan perbatasan yang membawa korban tewas. Kehadiran pasukan lembaga baru bentukan UN ketika itu juga tidak mampun meminimalisir konflik horisontal. Dalam pertemuan di Bulan Desember 2000, Eurico Guterres (Aitara) dan Cansio Lopes de Calvalho (Mahidi) sempat meminta dengan keras kepada pemerintah pusat untuk menangani pengungsi dengan lebih serius. Waktu terus berjalan. Penanganan pengungsi yang tahun-demi tahun dilakukan melalui resutlement di beberapa tempat.
Bagaimana setelah 10 tahun berselang? Dalam sebuah pertemuan di pinggiran kota Kupang, Eurico Guterres mengumpamakan perjuangan bagi eks PPI belum juga berakhir. Kondisi para warga eks Timtim masih dipenuhi dengan kesengsaraan. "Orang di luar hanya melihat pengungsi sudah dibangunkan rumah 6x6. Program penanganan pemerintah setengah hati, pembangunan rumah tidak manusiawi, dan asal jadi," kata Eurico Tegas. Benar juga, dalam pengamatan The Jakarta Post di kamp dan resatlement Kabupaten Belum dan Kabupaten Kupang NTT, tampak sekali kondisi itu. Di wilayah Oebelo, Kupang misalnya. Para eks Timtim tinggal di rumah resutlement yang sangat sederhana. Berlantai tanah, dan beratap kayu. Beton hanya dibangun 1 meter dari tanah. Hanya ada 1 pompa untuk ratusan.
Ironisnya, tanah dan rumah itu tidak didapatkan secara gratis. Domingos Soares eks PPI yang tinggal di tempat itu mengaku harus membayar tanah yang dia miliki. Pekerjaan sebagai buruh tani membuatnya kesulitan untuk itu. "Semua uang untuk membayar rumah selama bertahun-tahun, tidak ada untuk keluarga," kata Domingos pada The Post. Akibatnya, muncul problem kesehatan di keluarga mantan pasukan Aitara itu. Anak Domingos adalah salah satu balita yang terkena penyakit kurang gizi. Problem lain adalah muncul dari pengungsi yang tinggal di tanah milik warga lokal. Selama sepuluh tahun ini, eks Timtim selalu dihadapkan pada persoalan membayar sewa tanah yang selama ini dipakei. Kalau pengungsi eks Timor Timur tidak mau membayar, mereka diminta keluar dari tanah pengungsian. "Ini tidak diketahui. Saya mau publik tahu. Harus dilakukan sesuatu untuk itu," kata Eurico Guterres.
Di Kabupaten Belu, khususnya di Atambua pun sama. Meri Djami, koordinator NGO Pengungsi CIS Atambua mengatakan, hingga saat ini ada 20 ribu pengungsi di Atambua. Sekitar 5000-an orang di ataranya masih tinggal di kamp pengungsian. "Sementara sisanya hidup di resutlement," katanya. Di wilayah ini, kata Meri, pengungsi eks Timtim setidaknya menghadati tiga persoalan besar. Yakni persoalan tanah dan tempat tinggal, persoalan stigma sebagai warga Timtim dan persoalan kecemburuan sosial. "Mereka terus menghadapi masalah ini, sementara jumlah lembaga yang peduli dengan pengungsi eks Timtim sangat minim," katanya.
Karena tidak mau terus dalam keadaan yang tidak menentu itulah, eks Timtim mulai bergerak sendiri untuk memperbaiki nasib. Salah satunya membentuk organisasi di Atambua bernama Forum Kemanusiaan Warga Negara Indonesia Eks Timor Timur Korban Keputusan Politik. Forum itu diketuai oleh Carlos Araujo Brito. Meski hanya dibentuk oleh pengungsi, forum ini tergolong maju dengan mencatatkan diri di notaris setempat. Memalui forum ini, eks Timtim di Belu mencoba mengidentifikasi jumlah secara pasti persoalan-persoalan yang dirasakan 20 ribuan anggotanya. Termasuk memberikan solusi-solusi terbaik. Sementara di Kabupaten Kupang, Eurico Guterres terus mengorganisir diri untuk membangun kapasitas warga eks Timtim untuk bisa kembali maju memperbaiki nasibnya. Eurico dkk berencana membuat buku edisi 10 tahun di pengungsian dan diserahkan secara khusus ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sayang, perjalanan mereka pun acap kali terseok.Dalam sebuah demonstrasi di DPRD Belu yang dilakukan selama satu minggu pada tahun tahun 2008 dan berakhir bentrok, membuat pentolan Forum WNI Eks Timtim Korban Keputusan Politik ditangkap dan dipenjara. Sementara di Kupang, gerakan yang dilakukan Eurico Guterres harus berhadapat dengan ketidakkompakan warga eks Timtim. Saat Eurico mencalonkan diri sebagai anggota DPR-RI melalui PAN dalam Pemilu 2009 pun kandas. "Karakter orang Timor memang tidak bisa bersatu. Kalau bisa bersatu Timor akan jadi besar," katanya.
Meskipun dalam keadaan menderita, warga eks Timtim sudah sepakat untuk tidak meninggalkan Indonesia dan kembali ke Timtim. Meski kondisi riil lebih kondufis untuk mereka berkebun, namun sejarah masa lalu yang berdarah-darah tidak memungkinkan bagi mereka untuk kembali ke Timor Leste. "Pilihan untuk hidup di Indonesia adalah pilihan sadar saya, meski perjuangan eks PPI ternyata belum selesai sebagai warga negara Indonesia," kata Meteus.
foto dan teks foto by Iman D. Nugroho
1. Keluarga Domingos Soares di Kupang
2. Seorang eks Timtim di kuburan Emelia S. Baretto dan Agista de Jesus. Keduanya meninggal tahun 2005, karena diperkosa di hutan wilayah perbatasan, saat masuk secara ilegal ke Timor Leste.
No comments:
Post a Comment