Senja Madinah
Mataku mengerjap. Saat udara dingin menelusup kulit keringku. Udara lembab menusuk-nusuk tulang yang hanya dibungkus dengan daging sekelumit. Baju rangkap yang ku kenakan tak membuat gigilku hilang. Bulan ini masuk musim angin. Aku bahkan tak berani menyentuh air laut yang biasanya hangat. Kalau memasuki musim angin begini, air laut bahkan di bawah 0 derajat celcius.
Pandangku berpendar. Sekelebat terlukis bangunan-bangunan bersemen kokoh. Beratap biru. Daratan masih sekitar 100 meter dari tempatku berdiri di perahu kecil ini. Tak sampai sepuluh menit lagi aku akan sampai di pelabuhan Kalabahi. Pelabuhan terbesar di kepulauan Alor, tempat aku tinggal selama ini.
Tidak, aku tidak tinggal di sana, di pulau Alor besar. Meski pulauku masih bagian dari Kabupaten Alor. Aku hanya mengunjungi pusat kabupaten itu setidaknya sebulan sekali, saat mengantarkan mutiara-mutiara nan indah, hasil kami menyelam. Mutiara-mutiara asli, bukan hasil budidaya seperti yang dilakukan di Teluk Mutiara.
Hidupku lebih banyak di perairan dekat pulau Pura Tereweng, berpuluh-puluh mil dari Alor Besar. Bersama laut yang indah, dengan segala biotanya. Bersama lumba-lumba. Bersama alam yang masih perawan, dengan pohon kelapa yang menjulang. Bersama udara yang masih pekat, begitu segar. Bersama bagan keramba ikan. Bersama senja yang magis. Bersama bulan dan ribuan bintang, kala malam. Bersama ayah, ibu dan 4 saudara. Bersama paman dan bibi, serta kerabat hasil mereka beranak pinak. Juga seorang kakek, sahabatku bercerita, tempatku mendengar.
Kami, para lelaki adalah penyelam yang handal. Pencari mutiara. Sementara, perempuan kami bekerja sebagai penumbuk kemiri atau biji kacang. Tak satupun dari kami yang bersantai. Demi sebuah hidup yang entah seperti apa nantinya.
Pekat kabut yang menyelimuti Alor besar dan teluk mutiara mulai tersingkap seiring mendekatnya perahuku ke pelabuhan. Di tempatku berdiri, aku melihat banyak orang-orang berbeda dengan ku. Yang biasanya datang menggunakan kapal veri. Kapal yang jauh lebih besar daripada sampan kami. Tapi, mereka lebih banyak mengunakan pesawat perintis yang mendarat di Mali. Konon, kapal itu membawa mereka dari Kupang, hingga sampai ke Alor. Sebelum dari Kupang, entahlah…
Mereka, yang datang ke pulau ini, orang-orang bertubuh tinggi menjulang. Dari belahan barat, jika Indonesia disebut timur. Dari belahan utara, jika Indonesia disebut selatan. Merekalah yang lebih banyak membeli mutiara-mutiara kami. Tapi, tentu saja, kami tak langsung menjualnya kepada mereka. Karena telah ada majikan yang menunggu hasil mutiara yang kami bawa. Entahlah berapa uang yang kami dapatkan.
Orang bertubuh tinggi menjulang itu, dengan wajah yang tirus dan warna rambut kuning keemasan. Sangat kontras dengan kulit kami yang mendekati legam. Biasanya kami hanya melempar senyum. Karena kami tak pernah mengerti bahasa yang mereka gunakan. Ah, mungkin merekapun tak mengerti yang kami ucapkan. Mereka begitu suka menyorongkan benda berwarna hitam berbentuk kotak pada badannya dan berbentuk tabung pada bagian depan, ke arah kami. Bunyinyapun sangat aneh, cekrek… cekrekkk… Mereka menamainya kamera. Belakangan ada yang digital. Dengan harga yang bervariasi. Mulai dari satu juta hingga 20 jutaan. Lebih gila lagi harga barang elektronik bernama handycam, laptop, ah, dan yang saat ini lagi In, Blackberry… Banyak sekali. Aku sering melihatnya dari surat kabar dan majalah yang aku dapatkan bulan lalu, yang diterbitkan dua bulan sebelumnya.
Dengan sigap, aku melompat ke daratan, saat perahu kami menepi. Membantu bapakku menurunkan sejumlah barang. Ya, selain membawa mutiara, perahu kami juga membawa lima karung kemiri.
“Nak, pergilah mencari surat kabar pesanan kakekmu,” Teriakan tak ramah ayahku menghentikan kegiatanku yang berusah payah memikul sekarung kemiri kupas. Sontak, pamanku, Linus, menurunkan kembali karung kemiri kupas tadi dari punggungku.
Aku berlari, menuju daratan. Mendatangi sebuah toko kecil yang lebih mirip kios milik Yustinus. Kios terbuat dari gerobak. Beroda dua, berkaki tiga.
“Kakak, adakah Koran yang datang pada hari ini?” Sapaku pada laki-laki setengah baya tapi telah beruban di depanku ini.
“Ah, Kau,.. seperti tak pernah tahu saja jika pulau kita ini hanya mendapatkan pasokan surat kabar sebulan sekali. Dan pastilah beritanya sudah basi.” Sergahnya sambil menyorongkan setumpuk Koran berbagai jenis dan judul kepada ku. Aku hanya tertawa mendengarkan gerutunya.
“Untuk apakah kau membacanya, Nak?” Tanyanya.
“Aku ingin pandai, kakak.” Jawabku pendek, sambil membuka-buka Koran terbitan Jakarta.
“Jadi apakah kelak kau jika pandai? Dan berapa lamakah kau membutuhkan waktu akan pandai? Sekolahmu saja harus menunggu guru yang datang untuk mengajar. Lebih sering libur karena alasan badai laut.” Gerutunya tanpa memandangku dan tetap fokus pada pekerjaannya.
Aku tergelak mendengar keluhannya. Ya, di pulau ini, para guru sering kali tidak mengajar jika badai laut datang. Atau juga hujan yang sangat lebat. Aku sering kali harus menunggu sendiri di kelas. Karena di kelasku itu, teman-teman seusiaku akhirnya malas pula masuk sekolah. Mereka mengatakan sia-sia. Mereka lebih suka melaut bersama orang tuanya. Murit yang malas dan guru yang tak peduli,…
“Aku akan menjadi pemimpin negeri ini, kak,” Jawabku sambil memainkan mata dengan jenaka.
“Hah, bisakah kau menggantikan laki-laki tua itu? Sejak aku kecil, bahkan sejak ayahku bujang, laki-laki itu saja yang menjadi presiden,” Aku mengernyit.
“Soeharto?” Gumamku, tak yakin dengan dimaksudnya.
“Siapa lagi? Bukankah dia masih menjadi presiden?” Sergahnya tak peduli. Aku tertawa sekaligus sedih. Meski bekerja di sekitar pelabuhan Kalabahi, laki-laki berambut keriting yang tinggal di pedalaman pulau Pantar Alor itu sama sekali tak tersentuh informasi. Kekayaan dan keindahan alor tak membuatnya, dan kami, turut merasakan kenyamanan seperti yang diberitakan. Tentang diving, tentang snorkling. Permainan-permainan yang banyak dilakukan orang-orang tinggi menjulang itu. Di Pulau Kepa, atau Teluk Mutiara, atau Alor Kecil, atau, entahalah, banyak sekali tempat yang mempesona di pulau ini. Tapi kami, tetap saja harus bekerja keras menghindari kelaparan, meski tetap terjerat kemiskinan.
“ Tidakkah kakak ikut pemilu presiden tahun 2004 lalu? Bahkan sebelumnya, presiden kita telah berganti tiga kali, Kak, setelah Soeharto.” Aku mengingatkannya.
“Ah, masa? Ku kira, sama saja. Lalu siapa presiden kita sekarang? Tidakkah kau merasa mereka mirip?” Jawabnya tetap tak peduli.
Iya kakak, mereka sama, batinku. Tidak hanya presiden yang sekarang berkuasa yang mirip dengan presiden Soeharto. Tiga presiden sebelumnya juga sama saja. Kau, aku, dan semua penduduk di Alor ini, tanpa pernah mencecap madu pembangunan, telah menanggung hutang Negara pada lintah darat IMF tanpa pernah tahu telah kita apakan uang pinjaman itu? Akibat ulah mereka. Pertumbuhan dan peningkatan sisi ekonomi sebagai keberhasilan pemerintah, yang digembar-gemborkan di sejumlah koran dan majalah yang aku baca bulan lalu, sama sekali bullshit! Sebab hidup kami tetap saja seperti ini. Di antara kubangan kekurangan dan kemiskinan. Meski kami tetap bahagia. Terpaksa bahagia,…
“Kakak, bahkan kita akan memilih presiden lagi, beberapa hari lagi,” Aku menjelaskan.
“Ah, mengapa dipilih lagi? Apa pengaruhnya bagi kita? Tokh kita, sejak turun-temurun, beginilah nasibnya. Tak berubah. Malah semakin sulit. Orang-orang berkulit putih itu banyak datang kemari. Katanya membayar untuk melihat kehindahan Alor kita. Tapi apa yang ku dapat tokoku tetap saja seperti ini, toko peninggalan ayahku. Malah kemarin aku diberinya surat pemberitahuan penggusuran. Katanya karena tokoku ini tak elok dipandang. Semacam kaki lima atau apalah dia kata. Sudah ku bilang, kaki masih ada dua, kenapa disebut lima? Nah kau, nak, orang-orang yang memberiku surat itu katanya orang berpendidikan. Tapi tak bisa membedakan jumlah kaki seseorang. Beruntunglah dia tak sebut aku berkaki empat macam hewan. Kalau sampai terlontar, ku panggil kawan-kawan sekampungku, ku suruh serang, dan kita berperang,” Protes polosnya semakin membuatku termangu.
Dia benar. Tak ada yang berubah dalam kehidupan kami. Meski presiden telah berganti. Meski wakil rakyat berganti. Koran dan majalah yang aku baca, sebulan sekali datang. Sepeda motor hanya dikenal di masyarakat pelabuhan kalabahi atau ibu kota Mali. Selebihnya, kami mengenal kaki sebagai alat transportasi.
Dulu, waktu jaman pak Tua itu, kami dipaksanya makan nasi. Demi alasan kesejahteraan. Padahal, tanah kami tak bisa menghasilkan padi. Kami bahkan harus muntah selama berbulan-bulan untuk belajar makan nasi. Sekarang, setelah semuanya terbiasa, kami harus menunggu pasokan dari jawa atau tempat lain.
Aku melangkah gontai. Tetap membawa setumpuk Koran dan majalah yang aku pesan tadi. Pikiranku berkecamuk. Memikirkan kembali cita-citaku. Menjadi orang pandai? Menjadi pemimpin negeri ini?
“Pandai saja tidak cukup cucuku, negeri ini telah dipenuhi orang pandai. Tapi tak pernah selesai juga urusan pencurian. Mulai dari pencurian karena urusan perut, sampai pencurian karena urusan serakah,” Itu dikatakan kakekku, saat aku mempertanyakan kenapa aku harus pandai. Di suatu malam saat aku tak bisa lagi menemukan jawaban atas pertanyaan Yustinus.
Ya, Kakeklah yang memintaku untuk menjadi orang pandai. Selalu membaca. Mencekoki ku dengan buku-buku tua yang disorongkannya padaku. Buku-buku koleksinya, yang entah didapatkan dari mana. Membaca Koran-koran juga majalah atau apa saja. Bahkan ia mengajariku membaca situasi, membaca tanda-tanda alam, membaca otak-otak culas atau juga membaca penderitaan orang lain.
“Terlalu banyak kepura-puraan yang dibangun di negeri ini, nak. Kebenaran ditutupi demi kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat. atas nama proletar, atas nama kaum buruh dan pekerja. Atas nama kaum tani dan kaum miskin. Atas nama warna kulit atas nama bangsa atau etnis. Atas nama entah apa lagi,” Itu diceritakannya sebagai dongeng sebelum tidur, di malam-malam sebelumnya.
“Semuanya, cucuku, meletakkan kekuasaan sebagai tujuan. Orang-orang pintar itu, tak pernah miris dengan berpuluh juta korban yang berjatuhan yang diakibatkan. Dan mereka yang berlabuh di singgasana kekuasaan, mengabaikan yang diatasnamakan tadi. Sibuk mengurusi kekuasaan, selingkuh dan memperkaya diri. Mereka bersandiwara dan main komedi,” Itu dikatakannya sambil menatap jauh ke depan. Memandang bintang-bintang di langit kami yang belum tercemar dengan cahaya lampu.
“Jaman ini, atau jaman lalu. Tak ada yang berubah, nak. Sesuatu yang ideal justru digerus jaman. Tengoklah Tan Malaka, orang pertama yang mempunyai ide tentang republik ini. Naar de Republic. Ia, tak pernah menjadi apa-apa. Ia dikhianati oleh orang-orang yang justru menggunakan otaknya untuk memimpin negeri ini. Haha, kuburannya saja tak pernah ditemukan,” Ada nada kemarahan saat ia mengucapkan rangkaian kata terkahir ini.
“Lalu kenapa aku harus pintar, Kek. Tidakkah kakek takut aku seperti mereka?” Tanyaku heran. Lebih heran lagi dengan penjelasannya.
“Untuk sebuah perubahan, cucuku. Kau akan membunuh semua orang yang telah menjual Negara ini. Kau akan memotong generasi yang memperkosa nusantara ini. Karena keserakahan berbungkus intelektualitas mereka hanya akan dilawan dengan kepintaran pula. Tidak dengan kebodohan,” mata tua itu menyorot syarat harap.
Kakek, yang selama ini ku kenal hanya memegang kail untuk memancing ikan di laut lepas, dan sesekali mencatat tentang sajak-sajak di sebuah buku usang. Kakek yang hanya mengeluarkan satu persatu buku yang disimpannya di sebuah peti tua. Untuk ku baca. Menjawab sesekali tentang yang tak ku mengerti dari buku-buku tua itu. Dan lebih suka berbicara banyak saat aku beranjak tidur. Menceritakan tentang nusantara sebagai dongeng. Bumi pertiwi yang sakit. Yang dikhianati oleh anak-anaknya sendiri…
“Tenanglah, kau tidak sendiri. Orang-orang terlupakan itu telah mempersiapkan titisan mereka untuk berjuang bersamamu. Hampir di seluruh negeri ini. Kau akan terhubung dengan mereka, suatu saat nanti. Kami memang harus menunggu dan bersabar. Untuk melakukan perubahan ini.
“Kelak, saat terjadi revolusi, buatlah revolusi yang sempurna. Jangan seperti beberapa perubahan yang terjadi selama ini. Entah revormasi atau orde baru, yang tampak seperti orang operasi Caesar. Tuntaskan semua, cucuku, karena perubahan ini untuk kekekalan,” Tatapnya semakin jauh ke depan, ke laut lepas.
“Lalu siapa kakek, sebenarnya?” Tanyaku penasaran.
“Aku, termasuk dari orang-orang terlupakan itu,” Jawabnya sambil bernafas, berat.
No comments:
Post a Comment