*10 Tahun Pasca Jajak Pendapat
Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna [untuk The Jakarta Post]
Garis kuning memudar dengan lebar sekitar 30 centimeter itu masih membelah jembatan Mota'ain, Kabupaten Belu, NTT. Meski demikian, setiap kendaraan yang tak memiliki ijin melintas garis itu tidak diperkenankan melewati garis kuning itu. Tak terkecuali, warga sipil yang ingin menjemput keluarganya.Tanpa passport dan visa, langkah harus terheni persis di garis batas ini. Dari sinilah angin surga itu berhembus.
Sejak Timor Leste memisahkan diri dengan Indonesia 10 tahun lalu pada 1999, perhatian pemerintah pusat terhadap pembangunan diperbatasan semakin meningkat. Meski hingga saat ini, kendala teknis di lapangan, seperti gangguan alat komunikasi di pos TNI yang terletak di wilayah Oepoli, Aplala dan Napan, yang berbatasan dengan Distrik Oecusi, masih sering dikeluhkan. Namun, hal itu tidak membuat Garuda Pancasila yang terpancang di gapura bertulis “Welcome to Indonesia,” kehilangan kemegahannya.
Wajah perbatasan kedua negara ini jauh berbeda. Barak pasukan pengamanan perbatasan yang dulunya dibangun darurat, telah direhab menjadi sebuah gedung yang asri. Lantai bangunan yang dulunya hanya beralaskan tanah telah kini berkeramik. Bukan hanya barak untuk 650 personel TNI saja yang dibangun mewah. Beberapa instansi pendukung seperti pos imigrasi, bea cukai, karantina hewan dan pertanian maupun pos kepolisian memiliki bangunan yang tak kalah megahnya. ”Semua bangunan ini dibangun oleh pemerintah pusat,” lanjut Dodi.
Perubahan pun terjadi pada cara petugas dalam melayani para pelintas batas. Senyum dan sapaan yang ramah, selalu terucap dari para aparat yang bertugas di pintu lintas batas tersebut. “Dulu, situasi disini (Motaain) terkesan seram. Sekarang, situasinya jauh berbeda,” kata seorang misionaris Timor Leste saat ditemui di Motaain. Memang, situasi keamanan di garis batas sepanjang 300 kilometer ini semakin kondusif. ”Saya juga selau berkomunikasi dengan pihak Policia Patrolha Fronteiras (Polisi penjaga perbatasan Timor Leste)," kata Komandan Satgas Pasukan TNI penjaga perbatasan, Letnan Kolonel Inf. Yunianto.
Di balik keindahan itu, Direktur CIS Winston Rondo melihat "sesuatu". Yakni hilangnya kebiasaan-kebiasaan humanis yang ada di sana. Seperti family meeting yang dahulu pernah ada. "Dulu ada pertemuan keluarga (family meeting) di perbatasan. Tapi sakarang sudah dilarang karena ada pungutan pungutan liar," kata Winston. Akibatnya, pertemuan keluarga itu berubah rupa dengan pertemuan sembunyi-sembunyi di sekitar perbatasan. Dengan melewati jalan-jalan setapak yang disebut "jalan tikus". TNI, kata Winston lebih baik melihat perbatasan sebagai zona damai.
"Saya selalu bilang, jangan terlalu tinggi tensinya karena akan sulit diurus, mengapa tidak membiarkan orang lewat dengan membayar USD 5 dolar, bila ada keluarga yang sakit, misalnya," jelasnya. Juga bila ada kegiatan ekonomi kecil-kecilan. Terutama pada Juni dan Agustus. Di bulan-bulan itu, orang orang eks Timtim dari kamp pengungsian menyeberang ke Timor Leste untuk panen kopi selama 1-2 bulan. Selama itu, karena tidak ada kebijakan yang humanis, kegiatan itu dilakukan secara ilegal melewati jalan-jalan tikus.
Lain Winston, lain pula Picing Palu. Laki-laki ini merasakan Mota'ain sebagai ladang rupiah dan dollar. Keinginan merantai ke Dili Timor Leste bersama isteri dan dua anaknya pun batal. Pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan ini melihat ada "celah ekonomi" di areal perbatasa. “Situasi disini sangat ramai. Kalau saya membuka kios, pasti jualan sangat laris karena kebanyakan kios berada diluar zona netral, kawasan yang dianggap steril bagi aktifitas warga sipil,” katanya.
Bermodalkan sedikit dana yang dibawa dari kampung halamannya, Picing, mencoba membuka usaha dengan menjual barang kebutuhan pokok. Ternyata, jualannya laris manis diserbu pembeli. “Setiap minggu, saya harus ke Atambua untuk membeli barang guna memenuhi kebutuhan para pelintas batas,” katanya. Keuntungan hasil usahanya, sebagian disimpan untuk mengembangkan usaha dan sisanya untuk investasi masa depan. Ia pun membeli tanah seluas 400 meter persegi yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari pos lintas batas.
Di atas tanah itulah, ia membangun sebuah kios dan tempat tinggal. Rata-rata setiap hari, Picing memperoleh keuntungan sebesar Rp. 300 ribu sampai Rp.400 ribu. Berbagai jenis kebutuhan pokok dijual di sana. Mulai dari bahan makanan siap saji, minuman ringan, VCD film dan lagu-lagu populer sampai dengan pulsa handphone. “Kalau ramai, saya bisa mendapatkan keuntungan sampai dengan Rp 1 juta,” ujarnya. Saat The Jakarta Post mengunjungi perbatasan Motaain, belasan pelintas batas asal Filipina, Portugis dan Indonesia yang sementara membeli kebutuhan hidup mereka.
Kehadiran pintu lintas Batas Motaain, juga menjadi sumber rezeki bagi puluhan remaja putus sekolah, yang bermukim di wilayah itu. Hanya bermodalkan sebuah gerobak, setiap hari rata-rata remaja memperoleh keuntungan Rp.100 ribu sampai dengan Rp.300 ribu. Para remaja yang bergabung dalam kelompok Porter Mota'ain, bertugas membawa barang bawaan para pelintas batas dengan imbalan Rp.10.000 sampai dengan Rp.50 ribu. Tetapi apabila barang bawaan milik orang asing, para porter menerima imbalan dalam bentuk dollar AS. ”Biasanya kami membawa pulang sampai Rp.100 ribu lebih apabila perbatasan sangat ramai,” kata Okto Bere (27), salah satu koordinator porter. Okto mengaku, penghasilan digunakan untuk biaya hidup dan kebutuhan puteri semata wayangnya yang bersekolah di salah satu SMP swasta di Atambua.
foto dan teks foto: Iman D. Nugroho
1. Uang dollar dalam genggaman poter gerbang perbatasan Indonesia-Timor Leste
2. Pasukan penjaga perbatasan di gerbang perbatasan Mota'ain.
Tulisan ini dibuat dengan reportase yang baik, hanya saja kapan tulisan ini dibuat tidak dicantumkan tanggal ketika menulis. Hidup AJI ! Hidup Jurnalis !
ReplyDeleteOkky F Suryatama