Iman D. Nugroho, Surabaya
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya merilis upah layak jurnalis di Surabaya sebesar Rp.2,7 juta/bulan. Nilai ini diambil berdasarkan survey kepada jurnalis di Surabaya atas kebutuhan sehari-hari yang dikonsumsinya. "Kami berharap pemilik media memenuhi upah layak jurnalis karena hal ini adalah upaya untuk membangun budaya jurnalistik yang profesional," kata Donny Maulana, Ketua AJI Surabaya, Minggu (4/1) ini di Surabaya.
Survey AJI Surabaya dilakukan secara acak kepada 30 jurnalis yang terpublish dan berkantor pusat di Surabaya. Para wartawan itu diminta mengisi 24 form kebutuhan mulai makanan-minuman, perumahan-fasilitas, transportasi, komunikasi, kesehatan dan kebersihan, rekreasi hingga tabungan. Dari data-data yang terkumpul kemudian dianalisa dengan mengambil nilai tengah atau harga yang paling sering muncul dari responden. Dari hasil survey itu diketahui, sebagian besar jurnalis di Surabaya rata-rata membeli makanan tidak lebih dari Rp.10 ribu/sekali makan, tanpa memperhatian standarisasi kesehatan makanan yang disantapnya.
Jurnalis di Surabaya juga tidak menjadikan rekreasi, membeli buku atau bacaan lain, bahkan menabung sebagai salah satu kebutuhan pokok setiap bulannya. "Berdasarkan survey terhadap jurnalis sebagai responden dan survey harga barang di pasar, maka Upah Layak Jurnalis Surabaya sebesar Rp 2,7 juta," kata Adreas Wicaksono, Koordinator Upah Layak AJI Surabaya.
AJI Surabaya menilai, selama ini belum adanya standarisasi pengupahan jurnalis. Penentuan gaji wartawan hanya berdasar nilai rata-rata upah jurnalis yang berlaku di pasaran. Rata-rata masih jauh dari kelayakan. Bahkan, masih ada jurnalis yang tidak digaji sama sekali oleh media tempatnya bekerja. Meski demikian, AJI Surabaya juga melihat ada manajemen media yang menjadikan jenjang pendidikan jurnalis sebagai patokan. Tidak layaknya upah jurnalis ini selalu menjadi alasan untuk melanggengkan praktek terima suap "amplop", meskipun dalam kode etik jurnalistik jelas-jelas melarang praktek tersebut.
Data-data yang didapat AJI Surabaya mendapatkan nilai rentang upah pokok yang diterima jurnalis berdasarkan jenis media. Ironisnya, rentang upah ini menunjukkan adanya jurnalis yang digaji lebih rendah dari upah minimum kota/kabupaten 2009 sebesar Rp. 910 ribu. "Rentang gaji jurnalis di Surabaya mulai Rp. 300.000,-1.650.000,- nilai itu jelas jauh dari nilai standart menengah kebutuhan harian jurnalis di Surabaya," jelas Andreas yang juga jurnalis salah satu stasiun televisi di Surabaya ini.
Selain menjelaskan soal upah layak, AJI Surabaya juga menjabarkan hasil kerja sepanjang tahun 2008. Diantaranya advokasi terhadap berbagai kasus yang menimpa jurnalis di wilayah kerja AJI Surabaya. Seperti kasus Kasus pemukulan wartawan di Bojonegoro dan kasus intimidasi jurnalis Radar Mojokerto, Jalaluddin Hambali. "AJI Surabaya juga sempat bereaksi atas pernyataan Kapolda Jawa Timur Herman S. Sumawiredja yang menyalahkan jurnalis dalam kasus tragedi pembagian zakat di Pasuruan," kata Donny, Ketua AJI Surabaya.
Dalam kasus perburuhan, AJI Surabaya juga terlibat dalam kasus perburuhan antara Hendro Dwijo Laksono sebagai Chief Editor Majalah Mossaik dengan manajemen Suara Surabaya Media. Hendro yang semula terancam diberhentikan dengan alasan bekerja di dua tempat secara bersamaan, akhirnya berubah dengan alasan Pensiun Dini. Juga, himbauan kepada pengelola media massa, baik cetak dan elektronik untuk membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada jurnalis.
No comments:
Post a Comment