Iman D. Nugroho, Jakarta
Kondisi politik dan keamanan di Burma masih sangat berbahaya bagi pers. Hingga saat ini, jurnalis yang bekerja di negara itu harus berhadapan dengan ancaman intimidasi, penculikan, penangkapan, pemenjaraan, hingga pembunuhan dari militer maupun gangster. Semua itu terungkap dalam Regional Conference on Creating a Culture of Safety in the Media in Asia-Pacific di Jakarta, 15-16 Desember 2008 ini.
Dua jurnalis dari Burma yang mengikuti acara yang digelar oleh International News Safety Institute atau INSI ini bahkan meminta audiens dari 11 negara hadir untuk tidak mengambil gambar dan menyembunyikan indentitasnya. "Saya tidak bisa menyebutkan identitas dua kawan saya dari Burma yang datang hari ini, karena menyangkut keselamatan mereka," kata Mon Mon Myat, dari Burmese Journalist Protection Committee.
Salah satu jurnalis asal Burma yang menolak disebutkan identitasnya itu menjelaskan, kondisi di Burma saat ini tidak jauh berbeda seperti tahun 1962. Junta Militer yang menjadi rezim penguasa Burma memperlakukan jurnalis tidak ubahnya "musuh" negara yang bisa membahayakan. "Tidak ada kebebasan bagi jurnalis di Burma untuk menulis tentang politic dan social conflicts hingga saat ini," kata laki-laki muda dala bahasa Burma.
Salah satu yang bisa dilakukan oleh jurnalis lokal Burma adalah mengabarkannya kepada media asing, dan berharap bisa memperluas sosialisasi tragedi kemanudiaan di Burma. Namun, hal itu pun bukan hal yang mudah. Junta Militer membuat regulasi-regulasi yang sangat ketat bagi jurnalis di negara itu. Misalnya saja UU tentang film dan komputer yang dibuat tahun 1996. Juga UU tentang media elektronik yang disahkan tahun 2006.
Di dalam UU itu, jurnalis dilarang melakukan pengambilan gambar yang dianggap bisa membahayakan kepentingan nasional Burma. Bila ada warga negara yang nekat melakukannya, hukuman yang diancamkan hingga 59 tahun penjara. Menyangkut penggunaan internet, Junta Militer Burma mengharuskan pemilik jasa internet untuk memeriksa masing-masing komputer setiap lima menit. Bila menemukan sesuatu yang "membahayakan, diharapkan segera melaporkan ke pemerintah.
"Namun hal itu tidak membuat jurnalis Burma patah arang, kita tetap berusaha mengabarkan semua kejadian di Burma ke media asing melalui internet," jelas jurnalis Burma ini. Itulah mengapa, berita-berita tentang Burma masih bisa muncul di kantor-kantor berita asing dari seluruh dunia. "Justru karena itulah, pemerintah menjadikan jurnalis sebagai salah satu pihak yang terus dicari keberadaannya," katanya.
Tidak terhitung banyaknya pemeriksaan yang dilakukan militer Burma melalui check point yang digelar di jalanan kota Burma. Dalam pemeriksaan, pasukan pemeriksa mencari kamera photo atau video. Begitu kedapatan ada penduduk yang membawa kamera, mereka langsung ditahan. "Tidak hanya itu, mereka juga menangkap orang-orang yang sosoknya mirip dengan jurnalis, dan menahannya,"jelas sumber ini.
Ronald Aung Naing dari Burmese Journalist Protection Committee mengungkapkan, Junta Militer Burma sangat takut dengan tersebarnya kondisi Burma ke masyarakat melalui internet. Pemerintah bahkan melakukan pemblokiran pada situs-situs tertentu. Seperti Yahoo.com, Hotmail.com dan media portal lainnya. "Dalam berkiraan kami, 80 persen situs yang ada internet tidak bisa diakses di Burma," kata Ronald Aung Naing dari Burmese Journalist Protection Committee.
Dalam catatan Burmese Journalist Protection Committee, pada tahun 2008 ada 12 jurnalis yang ditangkap pada tahun 2008. Pemerintah junta militer juga menggunakan UU video dan electronic untuk memenjarakan blogger.
No comments:
Post a Comment