Iman D. Nugroho, Surabaya, Jawa Timur
Kasus diulangnya Pemilihan Gubernur Jawa Timur, adalah preseden buruk hukum di Indonesia. Akibat terburuk dari hal itu akan tampak pada Pemilihan Presiden RI yang akan berlangsung pada tahun 2009 mendatang. Hal itu dikatakan intelektual muda Nahdlatul Ulama(NU) yang juga ahli politik Universitas Airlangga Surabaya, Kacung Marijan.
"Dalam dalam Pilpres mendatang itu ada pihak yang merasa ada kecurangan, maka Mahkamah Konstitusi (MK) harus mengabulkan tuntutan agar pilpres diulang, seperti Pilkada Jawa Timur," kata Kacung pada The Post.
Dan bila hal itu terjadi, maka fase pilpres yang seharusnya bisa berjalan tiga fase akan digelar lebih dari lima fase. Dan itu sah untuk dilakukan. "Justru MK yang membuka ruang untuk itu, dan tentu saja, hal itu akan sangat "menakutkan" bagi sistem demokrasi di Indonesia," kata Kacung Marijan. Demokrasi, tambahnya butuh kepastian hukum, bukan hanya asumsi-asumsi tentang pelanggaran yang terjadi.
Dalam kasus Pilgub Jawa Timur, MK mengasumsi adanya pelanggaran-pelanggaran. "Mengapa Saya menyebut asumsi, karena MK tidak punya hak untuk menentukan apakah pelaksanaan pemilu itu perlu diulang atau tidak, yang menentukan ada dan tidaknya pelanggaran itu adalah Panitia Pengawas (Panwas)," kata Kacung.
Sementara ahli sosial-politik Unair yang lain, Daniel Sparingga melihat MK telah melakukan tindakan yang sangat berbahaya bagi hukum di Indonesia. Yakni mengubah Civil Law menjadi Common Law. Dalam Civil Law, kata Daniel Sparingga, hakim hanya melihat persoalan di masyakat berdasarkan hukum yang ada. "Hakim hanya akan menegaskan hukum yang sudah ada," katanya.
Sementara dalam Common Law hakim mengasumsi sendiri peristiwa dalam membuat hukum sendiri di luar hukum yang sudah ada. "Semacam hukum baru yang dibuat MK dari fakta-fakta yang didapatkan, ini pergeseran yang luar biasa, yang suatu saat bisa mengguncang dunia hukum Indonesia," jelas Daniel.
Untuk itu, Daniel menyarankan kepada ahli hukum di Indonesia untuk segera berkumpul dan membicarakan hal ini lebih serius, tanpa ada tendesi politik dan kekuasaan. Ahli hukum di Indonesia harus berpikir bagaimana cara mengawasi MK, atau bahkan mengkoreksi keputusannya. "Selama ini tidak ada lembaga yang bisa mengkoreksi MK, ini bahaya dan harus segera dibicarakan untuk menentukan kebijakan-kebijakan baru di bidang hukum yang lebih pasti," katanya.
No comments:
Post a Comment