Iman D. Nugroho, Singapura
Kelompok Amrozi Cs yang dituduh meledakkan bom di Denpasar, Bali tahun 2002 lalu, akhirnya dieksekusi Minggu (9/11/08) dini hari. Jenazah Amrozi, Ali Gufron dan Imam Samudra pun sudah dimakamkan di Serang, Banten dan Lamongan, Jawa Timur. Selesaikah kasus peledakan itu? Sepertinya tidak. Dalam catatan penulis, ada beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan. Setidaknya, ini menjadi pekerjaan rumah bagi penuntasan kasus yang menewaskan lebih dari 202 orang itu.
Hal pertama yang belum terjawab adalah, apakah bom yang meledak di Bali itu benar-benar bom yang dibuat oleh Amrozi Cs? Bila dirunut dari kronologi peristiwa itu memang sudah jelas terungkap. Bom mobil yang dirancang oleh Amrozi Cs-lah yang meledak di Kuta Bali. Namun, seperti yang banyak diberitakan pasca meledaknya bom Bali pertama, jenis ledakan yang dihasilkan dalam peristiwa itu memunculkan banyak spekulasi. Bisakah, bahan-bahan kimia yang dibeli di sebuah toko bahan kimia di Surabaya mampu menciptakan efek ledakan yang begitu besar? Bahkan, ada yang menyebut (mengacu dari jenis ledakan) bom yang meledak itu adalah litle nuke atau nuklir kecil. Apakah nulir kecil bisa dibuat dari bahan kimia?
Jawaban dari pertanyaan itu harusnya mampu diurai dengan meminta Amrozi Cs untuk membuat lagi bom serupa dan diledakkan di tanah lapang atau tempat yang aman. Tujuan rekonstruksi itu untuk mengetahui efek ledakan. Bila memang ukuran ledakan itu sama, maka keraguan semacam ini bisa terhapus. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan. Polisi Indonesia (dan dibantu olek polisi negara lain) hanya meminta Amrozi Cs, tepatnya Ali Imron untuk memperagakan cara pembuatan bom. Tanpa meledakkannya. Ini cacat penyelidikan.
Harus diingat, peristiwa Bom Bali sama sekali tidak menggunakan bahan-bahan peledak yang memang mampu menciptakan efek yang sangat besar. Seperti peledakan bom yang terjadi di basement World Trade Center (WTC) New York pada tahun 1993. Dalam peledakan yang gagal meruntuhkan WTC New York itu, bahan peledak yang digunakan adalah C4. Bahan peledak jenis ini memiliki daya ledak yang jauh lebih hebat dari bom buatan Amrozi Cs.
Selain memunculkan pertanyaan, apakah hanya bom Amrozi Cs yang meledak, ada juga spekulasi adanya pelaku lain yang menumpangi aksi pemuda Tenggulun Lamongan dan Serang Banten itu. Siapa penumpang gelap itu? Dari dalam negeri atau luar negeri? Apa tujuannya? Sulit menjawabnya. Hanya saja, dalam dunia intelejen, aksi kontra intelejen sudah biasa dilakukan. Apalagi saat bom Bali pertama itu meledak, dunia sedang digegerkan dengan aksi terorisme yang semakin sering terjadi di berbagai belahan dunia. Nah, apakah tidak mungkin, salah satu "hasil" yang ingin dicapai dari aksi "penumpang gelap" itu adalah menambah besar skala peristiwa.
Posisi Ali Imron menjadi hal lain yang "unik" dalam peristiwa bom Bali satu ini. Seperti yang diketahui ada 4 orang pelaku peledakan Bali yang tertangkap. Imam Samudra, Amrozi, Ali Gufron dan Ali Imron. Konon, Ali Imron adalah pembuat dan perancang bom. Bahkan, secara terbuka Ali Imron mengatakan bahwa dirinya adalah alumni Aghanistan. Uniknya, justru "otak" bom Bali seperti Ali Imron tidak ikut dihukum mati. Ali Imron hanya diganjar hukuman seumur hidup. Konon alasannya adalah keterbukaan informasi yang diberikan oleh Ali Imron. Dalam kasus terorisme, ini tidak lazim. Apakah bila teroris mau membuka informasi seluas-luasnya, maka dia bisa "diringankan" hukumannya?
Hal lain yang harus dijelaskan adalah posisi tertuduh lain yang dianggap memiliki "keterkaitan" dengan Amrozi Cs. Sebut saja Pimpinan Pondok Pesantren Ngruki Solo, Abu Bakar Baasyir yang sampai Amrozi Cs dieksekusi masih "menebar" kritik pedasnya kepada AS dan sekutunya. Baasyir disebut-sebut pernah menempati posisi penting dalam jaringan Jamaah Islamiyah (JI) Asia Tenggara. Mengapa hal ini terkesan tidak berlanjut? Padahal, Amrozi Cs disebut-sebut sebagai eksekutor kelompok JI (yang berafiliasi dengan Al Qaeda Asia Tenggara). Begitu banyak tuduhan kepada jaringan terorisme Indonesia yang terkesan lenyap begitu saja.
Yang tidak kalah penting adalah image Indonesia sebagai negara teroris. Sejak "perang melawan terorisme" menjadi isu global, Indonesia seakan tidak pernah tidak dikaitkan dengan terorisme. Penyerangan gedung kembar WTC dan aksi terorisme yang bertubi-tubi dirasakan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, seperti mempertebal cap "negara teroris" bagi Indonesia. Mulai tahun 2001 hingga saat ini, laki-laki asal Indonesia yang masuk ke AS, harus rela merasakan pemeriksaan lebih (dikenal sebagai random check). Bahkan, belum lama, di sebuah bandara di AS, penulis harus merasakan check dengan kertas khusus yang dilapkan di hampir semua barang yang dibawa. Mereka khawatir ada serbuk khusus (baca white powder atau serbuk berbahay lain) yang menempel/terbawa atau dibawa di tas, sepatu, laptop, kamera dll. Hmm,..
No comments:
Post a Comment