Iman D. Nugroho, Surabaya
Drainase dan sampah menjadi problem terberat kota Surabaya saat ini. Bila tidak dikelola dengan baik, maka dua hal itu akan menjadi persoalan serius dikemudian hari. Pada ujungnya, akan menyulitkan regulasi tata kota Surabaya yang dalam perkembangannya akan menjadi kota metropolitan. Hal itu dikatakan Mas Agus Mardyanto, Ketua Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
"Salah satu efek yang bisa dirasakan oleh kota ini adalah banjir yang setiap tahun menjadi penyakit kota,” kata Mas Agus Mardyanto pada The Jakarta Post, Selasa (18/11) ini. Kondisi yang demikian ini semakin diperparah dengan produksi sampah yang hingga saat ini terus meningkat. Data yang dimiliki Teknik Lingkungan ITS Surabaya, setiap hari ada 800-900 ton/harinya. Jumlah itu semuaya dibebankan kepada tempat pembuangan akhir (TPA) Benowo, Surabaya Barat.
TPA Benowo adalah andalan Kota Surabaya dalam mengatasi sampah yang dihasilkan warga kota Surabaya. Lahan seluas 37 hektar itu digunakan untuk menampung sampah warga kota Surabaya sejak tahun 2004, setelah TPA Sukolilo Surabaya ditutup. Berbagai hal terjadi saat pemindahan itu. Salah satunya penolakan warga setempat yang memprotes bau yang dihasilkan sampah organik. Apalagi, lindi (air polusi sampah) sempat masuk ke tambak dan mencemari sumber air warga setempat. Namun, perlahan-lahan kondisi berubah ketika Pemerintah Kota Surabaya membangun alat pengolah sampah.
Luas TPA Benowo, menurut Agus jauh dari memadai. Apalagi, tidak ada desain khusus di sana untuk mengolah sampah. Uniknya, ilmuwan Jepang dari Soka University Jepang, kata Agus, juga memiliki penilaian yang sama soal TPA Benowo. Bahkan, ketika Tim Teknik Lingkungan ITS Surabaya memaparkan persoalan sampah Surabaya, ilmuwan Soka University langsung tertarik dan menawarkan sebuah kerjasama penelitian. "Dalam penelitian itu akan dilihat dan dibandingkan, bagaimana penanganan sampah di beberapa negara di Asia, dan akan dicari bagaimana solusinya," jelas Agus.
Soal drainase, Agus menyoroti perihal tidak adanya integrated water resources management di Surabaya yang memadahi. Hal itu menciptakan keruwetan penanganan masalah air di kota berpenduduk 36 juta jiwa ini. "Terutama bila terjadi pencemaran, seperti yang terjadi di Kali Surabaya sekarang ini, semua pada ribut saling menyalahkan tanpa ada solusi," katanya. Padahal, bila diurai kembali, Agus melihat ada empat hal yang bisa dijadikan solusi pencemaran air.
Mulai pembenahan regulasi oleh pemerintah, pengolahan olah intansi terkait (Jasa Tirta, Perusahaan Daerah Air Minum/PDAM), kontrol oleh LSM/NGO dan penegakan hukum oleh polisi. Bila keempat hal itu benar-benar dipahami secara utuh, maka benang kusut persoalan drainase akan terurai. "Masalahnya, tidak ada pemahaman yang sama mengenai hal ini, jadinya persoalan pencemaran air seakan-akan jalan ditempat," kata Agus.
Sementara itu, dalam seminar bertema Sustainable Environment Sanitation for Tropical Region di hotel JW Marriot Surabaya, Selasa ini, Prof. Kensuke Fukushi dari Universitas Tokyo Jepang coba menawarkan disentraliasi manajemen air untuk mengurai persoalan perairan di Jawa Timur. "Advantages of the decentralized system are easy to employ water reuse and recycle system, management of water by community, promote proper management of groundwater and no need of skilled enginer for maintenance," kata Ken Fukushi.
Dengan sistem jenis ini, penduduk diberi tanggungjawab untuk mengelola sumber air dalam tanah dalam sekala kecil. Dalam skala lebih besar, masing-masing komunitas pengelola sumber air itu akan "mengamankan" sumber air dalam skala yang lebih besar. Meski begitu, tetap saja memiliki sisi yang menyulitkan. "But the most difficult issue in order to develop decentralized system is to allocate approriate water stock near treatment facilities," jelasnya. Apalagi, di Asia, sumber air tanah itu digunakan untuk air minum. Dan bila tercemar, hal itu akan sulit "disembuhkan".
Di Jawa Timur, menurut Mas Agus Mardyanto, usulan Prof. Kensuke Fukushi bisa direalisasikan. Namun, bila pemerintah ingin melakukan perbaikan pengairan, yang lebih urgent dilakukan adalah membangun sistem penyaluran air limbah. Di seluruh Indonesia hanya ada 12 kota yang memiliki sistem penyaluran air limbah. "Salah satu kota yang saya ingat adalah Solo, itu pun tidak maksimal, sementara Surabaya pernah memiliki itu di jaman penjajahan Belanda, dan sekarang sudah tidak berfungsi," katanya.
No comments:
Post a Comment