07 September 2008

Tetap Miskin di Daerah Kaya Minyak

Meskipun tinggal di daerah kaya minyak seperti Bojonegoro, khususnya Kecamatan Ngasem, tempat Sumur Banyu Urip berada, namun penduduk di daerah itu tetap saja dibelit persoalan kemiskinan. Salah satu penyebabnya, perusahaan tidak banyak melibatkan masyarakat setempat sebagai tenaga kerja. Belum lagi pembagian kerja pemerintah dan perusahaan pengelola yang membuat warga hanya kebagian debu semata.


Ungkapan itu meluncur dari dua penduduk Kecamatan Ngasem, Dasiyo dan Pasiran kepada The Jakarta Post, saat menemuinya di Ngasem, akhir Agustus ini. Dasiyo, misalnya, mengaku antara suka dan tidak suka atas kehadiran aktivitas pengeboran di Sumur Banyu Urip oleh Cepu Blok Ltd. Karena, kehadiran perusahaan kerjasama BP. Migas di Exxonmobil itu sama sekali tidak mengubah nasibnya. “Dari dulu yang tetap saja seperti ini, janji untuk melibatkan orang sini, tidak terjadi,” kata laki-laki (39) tahun itu. Kalau toh ada lowongan, biasanya menyertakan syarat yang kecil kemungkinan dipenuhi oleh penduduk setempat.

Kabupaten Bojonegoro adalah sebuah kota kabupaten di perbatasan Jawa Tengah. Daerah seluas 230.706 Ha dengan dengan jumlah penduduk 1.3 juta jiwa itu dikenal sebagai daerah minyak. Sejak jaman penjajahan, aktivitas perminyakan terjadi di wilayah ini. Pertengahan tahun 1990, perusahaan eksplorasi yang dimotori oleh BUMN Pertamina mulai merambah minyak di Bojonegoro. Di era yang sama, perusahaan perminyakan asal China, PetroChina masuk ke wilyah ini untuk kegiatan yang sama. Pengelolaan blok Cepu sendiri awalnya dilakukan oleh PT. Humpuss Patragas dan akan menggarap selama 20 tahun, dari tahun 1990 hingga tahun 2010.

Blok Cepu adalah areal perminyakkan luasnya 1.670 km2 dan terdiri dari 4 wilayah yaitu Banyu Urip, Sukowati, Jambaran dan Alas Tua. Pada tahun 1996, Humpuss melepas saham sebesar 49 % kepada Ampolex Cepu Ltd, perusahaan Australia. Di tahun yang sama Mobil Oil membeli saham itu dari Ampolex. Sekitar bulan Desember 1999, Exxon Corporation merger dengan Mobil Oil dan menjadi ExxonMobil, secara otomatis berhak atas Blok Cepu. Mobil Cepu Ltd, perusahaan di bawah Exxonmobil dibentuk untuk menjadi operator lapangan.

Berita tentang perminyakan di Bojonegoro kembali menanjak ketika Cepu Blok Ltd memulai aktivitasnya. “Tahun 2008 ini, Exxon dalam persiapan produksi, first oil diperkirakan akan keluar pada keluar akhir tahun ini,” kata Deva Rahman, Juru Bicara Exxonmobil pada The Post. Fokus pembangunannya ada di dekat Sumber Banyuurip dengan luas area sekitar 19 Ha.

Namun, hal itu tidak berarti apa-apa bagi Dasiyo. Permintaan ijazah SMA atau yang sederajat sebagai syarat bekerja, menyulitkan penduduk setempat yang mayoritas hanya lulusan SD. Meskipun ada yang bersekolah hingga jejang perkuliahan, hampir pasti akan mengadu nasib ke kota. Sialnya, persoalan ijazah, diikusi dengan persoalan lain. Yakni prakter sogok menyogok. “Bukan rahasia, kerja di sini harus pake uang, apalagi kalau tidak punya ijazah,” terangnya. Kondisi itulah yang memaksa Dasiyo untuk pergi ke Surabaya, ibu kota Jawa Timur yang berjarak sekitar 150-an Km dari Bojonegoro itu. Di sana, Dasiyo bekerja sebagai service sepatu.

Pasiran, penduduk Ngasem yang lain, mempunyai kesan yang senada. Laki-laki beranak tiga itu memilih untuk tetap menjadi petani di tanah petak miliknya, ketimbang menggantungkan harapan di proyek perminyakan. “Meskipun hasilnya tidak banyak, namun tetap bisa dijadikan sandaran hidup,” kata Pasiran. Dan itu bukan perkerjaan mudah. Bagi warga Ngasem yang menjadi petani, dalam setahun hanya bekerja selama 6 bulan. Terutama musim penghujan. “Musim kemarau benar-benar tidak ada air untuk tanaman,” katanya.

Itupun juga masih harus berhadapan dengan kondisi alam yang tidak bersahabat sebagai efek turunan dari aktivitas pengeboran. Jalan Kecamatan Ngasem yang biasanya berbatu kapur, berubah diselimuti debu sejak truk-truk besar lalu lalang mengantarkan perangkat keras pengebora. Debu-debu yang beterbangan di khawasan itu menutupi apa saja, termasuk tanaman di sawah dan perkebunan. Begitu juga dengan halaman, tegas hingga perabotan rumah. “Setiap hari, kami harus selalu menutup pintu rumah dan jendela, agar debu tidak masuk rumah,” katanya.

Kondisi di Ngasem, Bojonegoro juga diketahui oleh Suyoto, Bupati Bojonegoro. Tapi Suyoto mengaku tidak bisa berbuat banyak. Meskipun, berbagai regulasi menyangkut pelibatan warga setempat sebagai pekerja sudah dibuat. “Tenaga lokal, kecuali yang high skills dan expert, sebisa mungkin dipakai dalam proyek itu. Saya sudah mengontrolnya melalui laporan disnaker,” jelasnya. Namun, Suyoto mengakui masih sering ada pelanggaran. Pada pertangahan tahun 2008, Suyoto sempat menghentikan proses pengecoran karena tidak memakai tenaga kerja lokal. “Saya bilang, Kabupaten Bojonegoro fully support pertumbuhan eksplorasi, tapi make me more credible to my people,” katanya.

Ketegasan Suyoto harus berhadapan dengan regulasi perminyakan nasional yang sepenuhnya memposisikan Pemerintah Pusat di Jakarta. Meminjam istilah Suyoto, 10 meter di tanah adalah urusan, 100 meter di dalam tanah tanggungjawba gubernur. Sementara 100 meter ke bawah adalah urusan presiden. “Apa yang bisa saya lakukan, kecuali mengurusi permukaan tanah. Termasuk problem sosialnya,” kata Suyoto. Peran itu coba dimaksimalkan. Termasuk ketika ada keluhan persoalan debu jalan. Mobil Cepu Ltd, kata Suyoto menolaj pengaspalan jalan dengan alasan gampang rusak. “Alasan itu yang tolak, lebih baik terus mengaspal jalan hingga menelan biaya ratusan juta rupiah, dari pada rakyat marah dan menutup jalan masuk ke lokasi sumber minyak dan membuat kerugian Rp. 40 juta USD/hari,” ungkapnya.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur Bambang Catur Nusantara mencermati adanya problem pengairan yang mengancam Bojonegoro, menyusul ekplorasi dan eksploitasi di sana. Perlu ada sumber air yang melimpah untuk menginjeksi sumur-sumur migas di wilayah itu yang konon mencapai 35 titik. “Informasi yang masuk ke Walhi, ada delapan waduk gerak yang akan dibangun pemerintah di Bojonegoro, ini yang tidak pernah dijelaskan ke publik,” kata Catur pada The Post. .

Juru Bicara Exxon Mobil Indonesia Deva Rahman mengaku kaget dengan berbagai berita yang menyebar di masyarakat menyangkut kondisi Bojonegoro. Apalagi menyangkut rencana pembangunan waduk.”Rencana dibangunnya waduk gerak itu malah belum saya dengar. Tapi, kalau sudah full fil-production, sudah ada water for the proses. Namun semua proses awalnya belum rampung,” katanya.

Namun Deva meyakinkan, kebutuhan air untuk proses perminyakan pasti meminta dahulu kepada pemerintah. Bila pemerintah setuju, proses itu baru dilakukan. “Exxon tidak mungkin mengambil air samapi menyebabkan kekeringan, karena itu kami melibatkan pemerintah,” katanya.

Begitu juga saat Mobil Cepu Ltd “menangani” urusan SDM yang digunakan dalam proyek itu. Pengembangan suplayer lokal, rekruitment SDM lokal untuk dijadikan pegawai dan investasi adalah tiga titik berat yang dilakukan. Tujuan program yang dikemas dalam Condev itu pada didasari pembangunan kapasitas manyarakat. “Karena kami menilai berdasarkan assaisment, tiga program itu yang harus dilakukan, bukan pembangunan fisik,” katanya. Seperti pelatihan bahasa Inggris penduduk setempat.

Itulah alasan Mobil Cepu Ltd tidak memenuhi permintaan masyarakat untuk memberikan bangunan fisik. “Itu domain pemrintah. Jalan misalnya, ada jalan yang kita perbaiki, juga ada yang tidak kita perbaiki. Juga sekolah. Kita melihat, ekspektasi masyarakat untuk kesejahteraan sangat tinggi, tetapi jalannya tidak bisa tiba-tiba,” katanya.

Oleh Ridwan Max Sijabat dan Iman D. Nugroho untuk The Jakarta Post

No comments:

Post a Comment