22 September 2008

Harapan Pada Malam Seribu Bulan

Iman D. Nugroho

Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang hanya dipenuhi oleh beberapa gelintir orang, Sabtu malam (20/09/08) ini, komplek makam Raden Rachmadtullah atau Sunan Ampel dan para keluarganya, penuh dengan peziarah. Di sela-sela kompleks makam seluas hampir satu hektar itu, peziarah bersimpuh. Memanjatkan doa sembari membaca ayat suci al-Quran. Malam ini adalah malam ganjil pertama di Bulan Ramadhan. Umat muslim percaya, malam-malam ganjil 10 hari terakhir Bulan Puasa, sama artinya dengan malam 1000 bulan.


Malam 1000 Bulan atau Malam Lailatul Qodar adalah malam dimana Allah SWT melimpahkan kebaikan yang besar. Dasar kepercayaan umat muslim pada malam Lailatul Qodhar itu bisa dilihat dalam al-Quran, Surat al-Qodar. “Di malam itu lebih baik dari 1000 bulan,” tulis al-Quran dan al-Qodar. Uniknya, tidak dipastikan kapan tepatnya malam yang disebut penuh dengan kemuliaan itu hadir. Konon, malam itu terletak pada 1/3 malam atau 10 hari terakhir di Bulan Ramadhan. Artinya, mulai malam 21 hingga malam ke-29 Bulan Ramadhan.

Di malam-malam itu, biasanya umat muslim lebih khusuk berdoa dan menjalankan amalan-amalan tambahan di luar ibadah wajib seperti sholat lima waktu. Mereka percaya, bila mereka berbibadah tepat pada malam Lailatul Qodar, maka pahala yang didapatkan akan sama artinya dengan peribadahan serupa selama 1000 bulan penuh. Tak heran jika pada malam-malam 10 hari terakhir Bulan Ramadhan, tempat-tempat peribadahan seperti masjid, langgar dan tempat mujarabah (tempat mujarab untuk berdoa-RED) seperti makam orang-orang suci atau pemimpin agama, dipenuhi oleh peziarah untuk berdoa.

Di Jawa Timur, tempat yang dianggap sebagai tempat suci untuk berdoa adalah makam-makam para penyebar agama Islam atau Wali dan santri-santrinya. Di Surabaya, makam Raden Rachmad atau Sunan Ampel dengan Masjid Ampelnya, adalah salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi. Di Gresik, 30 Km dari Surabaya terdapat makam Sunan Giri atau Raden Paku. Juga di Tuban, sekitar 120 Km sebelah barat Surabaya, terdapat makam Sunan Bonang atau Makdum Ibrahim. “Usai Sholat Isya’, orang sudah mulai berdatangan ke Masjid Ampel untuk berdoa,” kata A. Nasir, pengurus Masjid Ampel Surabaya pada The Post, Sabtu malam ini.

Di antara tiga tempat itu, masjid dan makam Sunan Ampel di Surabaya-lah yang paling ramai. Masjid Ampel dipercaya sebagai tempat yang paling “tua”, lantaran Sunan Ampel merupakan salah satu pendiri perkumpulan Sembilan Wali penyebar Islam di Tanah Jawa. Sunan Ampel diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa, Kamboja. Sejarah mencatat, Sunan Ampel adalah keturunan dari Ibrahim Asmarakandi. Salah satu Raja Champa yang yang kemudian menetap di Tuban, Jawa Timur.

Ketika berusia 20 tahun, Raden Rachmat memutuskan untuk pindah ke Tanah Jawa. Tepatnya di Surabaya, yang ketika itu merupakan daerah kekuasaan Majapahit di bawah Raja Brawijaya. Oleh raja yang dipercaya sudah beragama Islam ketika berusia lanjut itu, Raden Rachmat dipinjami tanah seluas 12 hektar di daerah Ampel Denta atau Surabaya, untuk syiar agama. Karena tempatnya itulah, Raden Rachmat kemudian akrab dipanggil Sunan Ampel. Pada tahun 1421, Sunan Ampel membangun sebuah masjid Ampel dengan berarsitektur perpaduan Jawa kuno dan Arab.

Masjid yang terletak di Jl. KH. Mas Mansyur, Surabaya Utara semakin bernilai dengan hadirnya berbagai legenda di dalamnya. Salah satu legenda yang oleh sebagian besar orang dipandang sebagai kebenaran, adalah hadirnya sembilan makam milik salah satu santri Sunan Ampel yang bernama Mbah Sholeh. Sembilan makam itu, seluruhnya merupakan makam Mbah Sholeh. Hadirnya sembilan makam itu konon hadir karena Sunan Ampel masih memerlukan “teman” dalam membangun masjid. Saat Mbah Sholeh meninggal, Sunan Ampel berdoa agar Mbah Sholeh kembali diizinkan untuk membantunya, hingga sembilan kali.

Legenda lain adalah sosok Mbah Bolong, yang konon mampu menunjukkan dengan pasti arah kiblat masjid Ampel dengan pas ke ke Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Saudi Arabia. Caranya cukup unik, yaitu dengan melubangi (mbolongi-Bahasa Jawa) bagian imam masjid. Saat lubang itu dilihat, yang tampak adalah Masjidil Haram, Makkah. Begitu juga tujuh sumur yang konon digali sendiri oleh Sunan Ampel. Air dari sumur itu dipercaya memiliki khasiat menyembuhkan berbagai menyakit. “Tapi sebagian besar jemaah yang datang tujuannya untuk berdoa kepada Tuhan, selebihnya hanyalah warna-warna masjid Ampel,” kata Nasir.

Dalam pengamatan The Jakarta Post Sabtu malam lalu, Masjid Ampel seperti terkepung oleh jemaah. Dalam perkiraan pengurus masjid Ampel, jumlahnya sekitar 100 ribu orang yang datang dan pergi. Jl. Ampel Masjid sebagai jalan akses utama menuju ke Masjid Ampel penuh sesak dengan orang. Berlum lagi dengan pedagang kaki lima yang menjajakan barang-barang khas muslim, seperti sarung, sajadah, jilbab hingga mukena. Juga makanan-makanan khas dari Saudi Arabia, seperti korma, air zam-zam hingga minyak wangi. Jalan lain dari arah Jl. Ampel Suci pun sama. “Semakin lama, semakin banyak saja orang ke Masjid Ampel, apalagi malam pertama kali ini bersamaan dengan malam minggu, semakin membludaklah jumlah jamaah,” kata Nasir.

Usai melaksanakan sholat Isya;, pengunjung biasanya memilih untuk Sholat Tarawih berjamaah. Usai bertarawih, dilanjutkan dengan ritual membaca ayat Al-Quran, hingga pagi menjelang. Jamaah yang tidak kuat menahan kantuk, biasanya memilih untuk tidur-tiduran di beranda masjid. Sekalian menunggu datangnya waktu sholat sunnah Tahajud sekitar pukul 02.00 WIB dini hari. Di areal pemakaman tempat Sunan Ampel dan santrinya dimakamkan pun dijadikan tempat untuk berdoa.

“Siapa pun boleh datang ke sini untuk berdoa, dalam catatan kami pengujung terjauh kali ini berasal dari Banjarmasin dan Pontianak, yang terbanyak adalah jamaah dari Jawa Timur,” kata Mohammad Yatim, juru kunci makam Sunan Ampel. Jamaah tidak dipungut biaya. Jamaah yang datang berombongan hanya diminta melaporkan jumlah jamaahnya di ruang sekretariat masjid.

Firman Basuki dan kawan-kawannya adalah salah satu rombongan yang hadir malam itu. Bersama 14 orang pemuda asal Desa Mojosantren, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Firman datang ke Masjid Ampel dengan mengendarai tujuh sepeda motor. “Hal ini sudah kami lakukan setiap bulan Ramadhan, kami ingin mengharapkan mendapatkan berkah seribu bulan,” katanya pada The Post.



No comments:

Post a Comment