Iman D. Nugroho
Tidak tertatanya sanitasi kota secara menyeluruh, membuat perkampungan di Kota Surabaya menghadapi persoalan sanitasi yang serius. Terutama penduduk yang tinggal di perkampungan lama. Entah itu di tengah maupun di pinggir kota. Tidak adanya program berkala oleh pemerintah kota dan tanpa kesadaran penduduk akan hal itu, memperburuk kondisi.
Demikian dikatakan Ipung Fitri Purwanti, Staf Pengajar Jurusan Lingkungan dan Peneliti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, pada The Jakarta Post, Rabu (6/08/08) ini di Surabaya. “Meskipun menjadi kota nomor dua di Indonesia, setelah Jakarta, sanitasi masih menjadi problem. Masih ada beberapa lokasi yang tidak punya sarana sanitasi yang memadai. Akibatnya penduduk memilih membuang sampah dan kotoran ke sungai,” kata Ipung.
Salah satu daerah yang dijadikan contoh Ipung adalah Perkampungan Keputih, Sukolilo, Surabaya Timur. Di daerah itu, katanya, masih banyak penduduk yang tidak memiliki fasilitas mandi cuci kakus (MCK), sarana air bersih dan tidak adanya kawasan hijau. “Hal ini menyedihkan, karena secara geografis, Keputih tidak jauh dari Kampus ITS Surabaya, namun kesadaran itu tidak tertular kepada warganya,” katanya.
Satu hal yang membuat sanitasi buruk adalah tidak adanya kepedulian dan program pemerintah kota untuk mengentas hal itu. Pemerintah Kota Surabaya hanya mengembar-gemborkan program lingkungan tanpa hasil. Di sisi yang lain, penduduk pun tidak memiliki kepedulian. “Ada kombinasi kesalahan yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan kaum intelektual yang tidak membuat isu lingkungan menjadi hal penting, semakin memperburuk kondisi itu,” katanya.
Menilaian yang sama dikatakan Syaiful Munir, Ketua Komunitas Kampoeng Sawoeng, sebuah NGO yang bergerak dalam pemberdayaan perkampungan di Surabaya. Munir mengatakan, dari 33 perkampungan yang didampingi Kampoeng Sawoeng, hampir seluruhnya memiliki potret yang sama. “Semua memiliki problem sanitasi yang buruk,” kata Munir pada The Post.
Munir mencontohkan Kampung Gresikan di Surabaya Timur. Sampai sekarang, kondisi sanitasi di salah satu perkampungan padat di Surabaya ini belum terbangun. Selokan yang selalu macet karena dibersihkan satu bulan sekali, berpadu dengan tidak adanya penghijauan. “Masyarakat masih menganggap tidak perlu memperbaiki kondisi kampung, karena hal itu adalah tanggungjawab pemerintah,” katanya.
Dalam hal sanitasi, Munir mengelompokkan ada tiga problem besar, pengelolaan sampah, pengelolaan air dan MCK. Pengelolaan sampah yang dimaksud adalah sortasi sampah kering dan sampah basah. Problelm air menurutnya adalah tidak adanya mind set penghematan air. Sementara persoalan MCK lebih pada kebiasaan masyarakat pinggir sungai yang masih saja gemar membuang sampah rumah tangga ke sungai. “Masih belum tersentuh upaya manfaat air tanah, misalnya deperti di daerah Jambangan Surabaya yang sudah membuat bio-pori (pori-pori bumi),” katanya.
Tidak adanya manfaat yang langsung bisa dirasakan serta tidak adanya mereka informasi, membuat masyarakat abai akan hal itu. Belum lagi persoalan kepadatan. Dari daerah yang didampingi Kampoeng Sawoeng, yang paling parah daerah Kampung Tambaksari, Kampung Wonosari dan Kampung Wonokusumo. “Kampung-kampung itu adalah daerah padat penduduk, mereka tidak punya ruang berinisiatif, karena pendidikan rendah yang membuat kesadaran tidak muncul dan tidak cepat menangkap inisiatif itu,” katanya.
Karena kondisi itulah Munir mengatakan, sejak pertama kali mendampingi kawasan perkampungan pada tahun 2005 hingga sekarang, Kampoeng Sawoeng melakukan strategi yang berbeda. Pada awal tahun, Kampoeng Sawoeng mencoba mengubah prilaku anak-anak yang menjadi “masa depan” kampung itu. Bersama sekolah-sekolah, Kampoeng Sawoeng menggelar workshop menanam dan melukis. Ekstrakulikuler itu dilakukan setiap hari sabtu. “Hingga tiga tahun berjalan, beberapa sekolah masih menginginkan program itu terus dilakukan,” kata Munir.
Tahun 2006-2007, di samping meneruskan pelatihan anak-anak, fokus garapan Kampoeng Sawoeng diperlebar dengan meningkatkan kepedulian warga perkampungan. Intinya adalah penguatan komunitas melalui diskusi-diskusi dan partisipasi langsung dari masyarakat. Bentuknya, penanganan sampah dan penghijauan. Dari program itu, jumlah kampung dampingan yang awalnya “hanya” 15 kampung, bertambah menjadi 33 kampung. “Baru tahun ini masuk pada program perbaikan sanitasi,” katanya.
Pengelolaan air adalah fokus utama. Yakni dengan mendorong pembuatan lubang ke di tanah yang disebut sebagai bio-pori. Dengan bio-pori, air akan mengalir ke dalam tanah dan terikat oleh struktur tanah. “Jumlah air yang tumpah ke selokan akan lebih sedikit, karena air juga akan masuk ke dalam tanah dan menjadi air tanah,” kata Munir.
Meski terlihat sederhana, namun sosialisasi bio-pori memiliki kesulitan tersendiri. Terutama kesulitan teknis pengeboran. Harus ada campur tangan pemerintah dan lembaga funding untuk merealisasikan hal itu. “Ini lebih berat dari penghijauan, lagi-lagi, seperti yang saya katakan di awal, manfaat air tanah tidak bisa langsung dirasakan,” katanya.
Siswanto, warga Kampung Klampis Ngasem adalah salah satu warga yang “menunggu-nunggu” pelaksanaan program sanitasi Kampoeng Sawoeng dilaksanakan. Budaya penggunaan air di kampungnya, membuat Ketua RW 1 Kampung Klampis ini merasa perlu adanya pengelolaan air. “Dari pada air yang sudah digunakan dibuang., kan lebih baik diproses untuk bisa digunakan kembali,” katanya.
No comments:
Post a Comment