Iman D. Nugroho
Keputusan Saekan menanam Pohon Pucung di atas sumber air Sanggar 36 tahun lalu menuai hasil. Beberapa sumber air yang biasanya kering saat musim kemarau itu terus bisa berair hingga kini. Kebutuhan air ribuan warga desa pun teratasi.
Langkah Saekan memperistri Tarmi, warga Desa Padas, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun Jawa Timur 1972 lampau, harus dibayar "mahal". Laki-laki yang kini menjadi sesepuh Desa Padas itu harus tinggal di daerah minus air. "Jangankan untuk minum, ketika pertama kali saya tinggal di sini, mendapatkan air untuk mandi saja susah," kata Saekan, Sabtu (28/06/08) ini. Bahkan, bagi laki-laki yang kini berusia 60 tahun itu tidak mandi selama lima hari adalah hal yang biasa.
Kesulitan air itu juga dirasakan setidaknya oleh 1000-an jiwa yang tinggal di Desa Padas ketika itu. Penduduk setempat menganggap hal itu sebagai kondisi yang "wajar". Selama bertahun-tahun, masyarakat memenuhi kebutuhan airnya dengan mengangsu (mengambil air) ke sumber air berjarak 1 Km yang letaknya jauh di dasar jurang.
Tapi tidak bagi Saekan. "Saya berpikir bagaimana orang terus hidup dengan kondisi seperti itu, bagaimana masa depan anak-anak desa ini mendatang," kenang Saekan.Kegelisahan itu mendorong laki-laki yang sejak muda gemar berladang ini, menanam pepohonan di sekitar sumber Sanggar, sumber terdekat yang selama ini menjadi sandaran hidup warga Desa Padas. Jaraknya hanya 1 Km.
Pohon Pucung dan pohon Aren menjadi pilihan Saekan. Pohon Pucung yang berbuah "kluwek" (rempah-rempah penghitam masakan Rawon-RED) ini adalah pilihan paling tepat. Selain pohonnya cepat besar, jumlah akar Pohon Pucung tergolong panjang, menguatkan tanah dan menyerap air dalam jumlah banyak pula.
"Daun pohon ini juga tidak mungkin dimakan ternak, karena ternak tidak mau, bila dipaksanakan, bisa mati," kata Saekan. Sementara Pohon Aren yang menghasilkan kolang-kaling, juga memiliki karakter yang hampir sama pula.
Sembari menunggu pohon itu besar, Saekan memutuskan untuk kembali ke Desa Ngrengat, sekitar 2 Km dari Desa Padas. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 1982, Saekan membawa keluarga, termasuk Tarmi dan anak pertamanya Hartono, kembali ke Desa Padas. Pohon -Pucung dan Pohon Aren yang ditanamnya sudah mulai bisa "dipanen" karena sudah tumbuh besar. Selain itu, saekan melihat adanya perubahan karakter sumber air. "Airnya lebih banyak," kenangnya.
Pekerjaan baru di mulai. Dengan dananya sendiri, Saekan membuat tempat penampungan air sementara di sekitar sumber air. Sekaligus membuat istalasi air yang terbuat dari bambu sejauh 1 Km. Dari sumber air menuju ke rumahnya. "Bambu saya belah, dan saya topangkan ke batang kayu, air pun mengalir menuju rumah saya," kata ayah dua anak, Hartono dan Udi Jatmiko ini.
Meski murah dan kuat, Saekan merasa penggunaan bambu untuk mengalirkan air rumit dalam perawatan. Banyaknya daun dalam hutan, acapkali membuat saluran bambu berhenti mengalirkan air. Dengan biaya sendiri, Saekan membeli selang plastik dengan diameter 3 Cm. "Dulu satu roll sepanjang 10 meter berharga 10 ribu, saya membeli 10 roll, untuk mengganti batang bambu," katanya.
Jumlah air yang terkumpul pun bertambah banyak. Alhasil, para tetangga pun bisa menikmati air sumber melalui rumah Saekan. Meski sederhana, apa yang dilakukan Saekan sangat membantu penduduk desa yang biasanya mengangsu air dengan menggunakan bambu ke sumber air di tepi jurang Desa Padas.
Selain mengurus sumber air, Saekan juga membangun sebuah kelompok bernama Kelompok Tani Agromulyo. Kelompok ini tergolong unik. Dengan bekal iuran Rp.1000-an/orang dan beras 1 Kg/orang, kelompok ini mengembangkan usaha simpan pinjam. Tidak tanggung-tanggung, kelompok ini sampai bisa membuat anggotanya memiliki hewan ternak.
Kelompok Tani Agromulyo jugalah yang bergotong-royong memperbaiki kondisi sumber air Sumber Bendo yang terletak 4 Km dari rumah Saekan. Sumber yang memiliki debit air jauh lebih besar itu pertama kali ditemukan oleh Saekan. Ketika itu, Saekan yang membantu proses pemadaman hutan secara tidak sengaja menemukan sumber Sumber Bendo.
Bersama Kelompok Tani Agromulyo, Saekan membangun tempat penampungan air di Sumber Bendo. Selain menanami pohon di sekitar sumber dengan tujuan untuk memperbanyak debit air. Saat air sudah terkumpul, Saekan dan kelompoknya membangun saluran air dari bambu, seperti yang dilakukannya di Sumber Sanggar. “Ïtu bukan hal yang mudah, karena jaraknya jauh, sampai 4 Km,” katanya. Air yang mengalir dari Sumber Bendo itu mampu memenuhi kebutuhan 7 kepala keluarga.
Kini, dua sumber air itu menjadi sandaran hidup masyarakat Desa Padas dalam persoalan air. Sumber Sanggar yang awalnya hanya bisa memenuhi kebutuhan 3 keluarga berkembang menjadi sumber air bersih untuk 13 keluarga. Sementara sumber Bendo, berkembang dari tujuh keluarga menjadi 50 keluarga. Tidak hanya itu, bila kebutuhan air bersih sudah selesai, air yang mengalir tiada henti, bisa digunakan untuk kocor-kocor (istilah setempat untuk pengairan lading).
Yang membanggakan, pohon Pucung dan pohon Aren yang ditanam Saekan membuat sumber air di daerah lain di luar Desa Padas, memiliki debit air lebih banyak. “Menurut beberapa warga, sumber air di tempat mereka kini tidak pernah mati, meskipun musim kemarau,”kata Saekan. Penduduk Desa Padas yang kini berjumlah 1.667 jiwa pun tidak lagi kesulitan air.
Kepala Desa Padas, Heru Sumanto yang juga anggota dari Kelompok Tani Argomulyo mengharapkan perjuangan Saekan 36 tahun lalu harus terus dilestarikan. Perkembangan anggota kelompok yang jumlahnya 55 orang tidak boleh berhenti di tengah jalan. “Perlunya melibatkan generasi muda. Sementara ini, pemuda-pemuda di Desa Padas sudah mulai terlibat penanaman tanaman yang mengandung air, selain itu juga menanam cengkeh,” jelas Heru.
Selain itu, juga dibentuk kelompok air yang disebut Himpunan Pengguna Air Minum (Hipam). Bagi anggota Hipam, kelangsungan hidup sumber air adalah segala-galanya. Secara berkala, anggota Hitam menyusuri saluran air (yang sudah diganti dengan paralon) untuk memeriksa kalau ada kerusakan. “Biasanya, usai hujan deras, pasti kami bersama-sama memeriksa saluran air, banyak pohon tumbang sering kali membuat air macet,” katanya.
Hipam juga yang secara mufakat mengatur penggunaan air. Semua anggota Hipam memiliki hak yang sama. “Namun bila ada yang membutuhkan air lebih banyak, anggota Hipam bisa meminta ijin dari anggota Hipam yang lain untuk menggunakan airnya,” jelas Heru.
Heru menggarisbawahi, ada keinginan dari Hipam dan Kelompok Tani Argomulyo untuk mempermanenkan sistem pengairan dari Sumber Sanggar maupun dari Sumber Bendo. Namun, debit air yang dimiliki kedua sumber itu tidak cukup besar. “Üntuk sementara, sistem pengairan yang kini sudah ada sudah cukup baik, kita sudah bisa menggunakannya dengan maksimal,” katanya.
Perjuangan Saekan berbuah lebih manis ketika laki-laki yang selalu menghiasi wajahnya dengan senyum ini mendapatkan Penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saekan dan kelompok Kelompok Tani Agromulyo dianggap sebagai penyelamat lingkungan. Mereka dianggap berhasil dalam melakukan usaha-usaha penyelamat tanah dan air di wilayah Desa Padas yang masuk dalam Kelompok Pengelola Hutan (KPH) Lawu dan sekitarnya. Saekan menganggap, Kalpataru yang diterimanya tidak membuat kondisi di Desa Padas berbuah. "Masih banyak fasilitas yang harus dipenuhi, tidak punya cuma soal air," kata Saekan.
Di Desa Padas hanya ada dua sekolah dasar (SD). Sementara Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada di Desa Segulung yang berjarak 2 Km dari Desa Padas. Untuk Sekolah Menangat Atas (SMA) lebih jauh lagi. "SMA ada di Kecamatan Dagangan, lebih jauh lagi, sekitar 10 Km, karena itu kalau bisa ada SMA di Segulung, karena banyak anak-anak muda yang tidak melanjutkan," katanya. Penduduk Desa Padas masuk dalam golongan miskin. Pendapat perkapita di desa itu hanya Rp.400- Rp.500 ribu.
Semoga Penghargaan Kalpataru bisa membawa perubahan,...***
No comments:
Post a Comment