Iman D Nugroho
Banyaknya jumlah golongan putih (golput) dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008, mencapai hampir 40 persen, adalah hasil dari pemilih yang frustasi melihat prilaku politik elitnya. Hal itu membuat hasil pilkada gubernur secara sosial tidak terlegitimasi oleh masyarakat.
Sosiolog Ayu Sutarto melihat jelas kondisi itu. Menurut Ayu, golput bisa dilihat sebagai pergeseran cara pandang masyakat Jatim kepada vote getter yang tidal lain adalah tokoh dan kyai. Masyarakat melihat, birokrat, ulama dan tokoh masyarakat melakukan sesuatu yang jauh dari keinginan masyakat. “Ketika tokoh-tokoh ini menjadi vote getter, hasilnya justru penolakan dari masyarakat yang frustasi,” kata Ayu Sutarto pada The Post, Rabu (23/07) ini di Surabaya.
Dalam bahasa lain, Ayu melihat adanya erosi kepercayaan masyakaat pada figur ulama, politisi, dan birokrasi. Salah satu main problemnya adalah pendidikan politik yang keliru. “Kondisi itu diperparah dengan tidak bekerjanya mesin-mesin politik Lihat saja, yang membuat kandidat itu terpilih adalah adanya sentimen kepada kelompok tertentu, misalnya memilih calon yang perempuan satu-satunya, bukan karena jargon dan program kerja,” kata Ayu.
Intelektual muda NU Ali Khaidar menekankan, sosok vote getter yang selama ini dipilih oleh kandidat, seperti para kyai dan tokoh agama masyakat setempat, tidak lagi membawa pengaruh signifikan. Salah satu sebabnya, kyai dan tokoh masyatakat ini memiliki orientas yang beragam. “Tidak hanya di Jawa Timur, di banyak tempat, banyak kandidat yang didukung tokoh agama dan tokoh masyarakat malah tidak menang,” kata Ali Khaidar.
Namun, tokoh agama itu agaknya tetap dipakai sebagai vote getter karena biaya yang dikeluarkan untuk mereka tergolong murah. Dibandingkan dengan biaya yang diperlukan untuk iklan dan sarana komunikasi yang lain. “Masyarakat bisa melihat hal itu, banyak tokoh agama dan tokoh masyarakat yang berbicara seakan-akan membela masyarakat saat pilkada, padahal pada dalam kesehariannya justru melakukan hal-hal yang menyakitkan masyarakat,” kata Ali.
Ali melihat kondisi yang sama saat ketika Pemilihan Presiden langsung digelar pada 2004 lalu. Ketika itu, Hasyim Muzadi, Ketua PBNU maju sebagai calon wakil presiden bersama Megawati Soekarno Putri, malah kalah. Di tingkat kelurahan dan Kabupaten tempat Hasyim Muzadi tinggal, perolehan suara berada di bawah Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jawa Timur Sri Sugeng mencatat ada pelanggaran serius terjadi di Jawa Timur. Pelanggaran pertama adalah penghitungan suara di Madura yang dilakukan sebelum waktunya. Sementara di Ponorogo, undangan pencoblosan tidak diberikan pada setiap pemilih, melainkan hanya pada keluarga. Karena itu banyak yang merasa tidak diundang.
Meski begitu, Kapolda Jawa Timur Herman S. Sumawiredja mengatakan, hasil pantauan polsi di Jawa Timur selama pelaksanaan pilkada Jatim tidak mengindikasikan adanya kejadian luar biasa. Di beberapa titik yang dianggap rawan, seperti di Madura, Lumajang dan Malang masih aman-aman saja. “Tidak ada laporan tentang kejadian luar biasa, semua aman-aman saja,” katanya.
No comments:
Post a Comment