Iman D. Nugroho
Kasus penembakan warga Bojonegoro oleh aparat Perhutani, terus berlanjut. Kamis (12/06/08) ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya yang juga kuasa hukum warga korban penembakan Perhutani di Bojonegoro mengajukan protes dan menuduh penyidik Polres Bojonegoro melakukan pembohongan kepada mereka.
"Polisi memberitahukan bahwa pelaksanaan reka ulang akan ditunda, namun ternyata tetap dilaksanakan, ini awal dari rekayasa hukum," kata Athoillah, SH Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya. Reka ulang tanpa kehadiran kuasa hukum korban dilakukan Selasa (10/06/08) lalu di depan Markas Brigade Mobil (Brimob) Kompi C Bojonegoro. Disaksikan jaksa penuntut umum (JPU) yang juga Kasipidum Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro Sutikno dan penasihat hukum tersangka, Tri Astuti Handayani.
Dalam rekonstruksi itu terlihat, penambakan dilakukan dari arah belakang dengan jarak 3-5 meter. Selain itu, reka ulang yang merupakan pengakuan dari tersangka aparat Perhutani bernama Supriyanto itu menggambarkan aksi kejar mengejar antara aparat Perhutani dan warga. Juga ada adegan tembakan peringatan sebelum tembakan mengarah ke sasaran.
Bagi LBH Surabaya, rekonstruksi itu penting. Dalam rekonstruksi itu bisa tampak, siapa yang sebenarnya melakukan pelanggaran hukum. Hingga saat ini, Perhutani Bojonegoro masih meyakini, kehadiran warga di hutan jati itu bertujuan mencuri kayu. Penembakan itu sendiri dilakukan saat proses pencurian berlangsung.
Sementara, saksi mata korban penembakan menjelaskan sebaliknya. Mereka mengaku tidak mencuri kayu, hanya mengambil rencek atau ranting untuk kebutuhan memasak. Salah satu buktinya, tidak adanya alat berat yang dibawa warga saat penembakan berlangsung. Mereka hanya membawa golok dan bergaji kecil untuk memotong ranting. "Tapi kami menyesalkan, mengapa kami dibohongi sehingga tidak bisa menjadi saksi reka ulang," kata Athoillah.
Peristiwa penembakan itu berawal ketika 20 orang pencari kayu bakar (recek/ranting) beristirahat di pinggir Hutan Sekidang, Rabu (23/04/08) lalu. Hutan Sekidang terletak sekitar 30-an Km Kota Bojonegoro Jawa Timur. Dua orang tewas dan seorang lagi luka serius karena peluru. "Sampai sekarang Saya masih teringat," kata Lasidi, salah satu saksi mata.
Nuri, salah satu saksi mata yang lain menceritakan, saat itu terdengar suara tembakan tidak beraturan mengarah ke warga. Pencari ranting kayu yang mendengar itu sontak berlarian ke berbagai arah. Saat situasi kacau itulah, sekilas Nuri melihat leher Yudianto, rekannya yang juga pencari ranting, mengeluarkan darah. "Yudianto langsung lemas,..saya rangkul dan membantunya duduk di tanah," kenang Nuri.
Saat suara senapan tidak lagi terdengar, Lasidi, salah satu pencari kayu yang ketika itu duduk agak jauh dari kerumunan, berinisiatif kembali ke tempat mereka berkumpul. Saat itulah, Lasidi melihat dua orang patugas Perhutani berbaju kaos sedang berdiri di samping Bambang, salah satu pencari kayu yang tergeletak.
"Saya melihat dua orang, yang satu membawa senapan, yang lain membawa pentungan di dekat Bambang. Orang yang membawa senapan menodongkan senapannya ke arah Saya,..kemudian Saya berteriak Hei Rek! Koncone kena bedil (hei kawan kita kena tembak-RED)," kenang Lasidi. Teriakan Lasidi membuat dua orang yang kemudian diketahui sebagai aparat Perhutani itu lari.
Beberapa pencuri ranting kayu yang sudah berlarian, satu persatu kembali ke lokasi peristirahatan. Sekitar 10 meter dari mayat Bambang, ditemukan pula mayat pencari kayu lain, Sucipto yang juga sudah meregang nyawa. "Keduanya meninggal dunia, Bambang dan Sucipto tertembak di kepala, hanya Yudianto yang tertembak di leher yang masih hidup," kata Lasidi.
Di tengah rasa takut bila dua aparat perhutani itu kembali menembak, para pencari ranting kayu itu membuat tandu dari kayu hutan untuk membawa dua jenazah kembali ke desa Babad di Kecamatan Kedung Adem.
Hingga saat ini, Nuri dan Lasidi dkk tidak mengerti alasan penembakan aparat Perhutani. Warga menduga, aparat Perhutani mengira kelompok orang yang sedang beristirahat itu sebagai pencuri kayu jati. Padahal tidak. Nuri mengungkapkan, kehadiran warga Kedung Adem di Hutan Sekidang saat itu hanya untuk mencari kayu bakar untuk kebutuhan memasak.
Namun, kabar yang beredar justru sebaliknya. Peristiwa yang terjadi di petak 18 Hutan Sekidang itu disebut-sebut sebagai "prestasi" aparat Perhutani yang sudah melumpuhkan pencuri kayu. Bahkan, dikabarkan pula ada upaya penyerangan dari para pencuri kayu ke petugas Perhutani yang sedang berpatroli. Karena membela diri, aparat Perhutani melakukan penembakan. Di sejumlah media Menteri Kehutanan (Menhut), MS Ka’ban membenarkan berita itu.
"Kami bukan pencuri kayu, saat itu kami hanya membawa bendo (golok), gergaji kecil, air minum dan bekal makanan, masa bisa pencuri kayu jati hutan yang besar-besar dilakukan dengan bendo dan gergaji kecil?" kata Nuri. Sialnya, saat peristiwa itu terjadi, aparat Perhutani tidak melakukan pengecekan terlebih dahulu. "Tidak ada peringatan, tahu-tahu ada suara tembakan," kata Nuri.
Pemeriksaan yang dilakukan Polisi Bojonegoro kepada enam anggota aparat Perhutani, menetapkan pelaku penembakan mantri hutan Sekidang, Supriyanto (33) sebagai tersangka. Dalam pemeriksaan itu, polisi menyita senjata api (senpi) jenis PM 1 A 1 buatan PT Pindad yang sudah memuntahkan sembilan peluru, sebagai barang bukti.
Peristiwa penembakan di Hutan Sekidang Bojonegoro menambah daftar panjang konflik di areal hutan di Pulau Jawa. Dalam catatan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), 32 orang meninggal dunia karena konflik di hutan Pulau Jawa. sepanjang tahun 1998-2008. Lebih dari 69 orang luka-luka. "Konflik itu melibatkan 6300 desa yang ada di sekitar hutan," kata Anggota Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue.
Di Bojonegoro, konflik yang terkait dengan hutan sering kali terjadi. Di kabupaten yang merupakan kabupaten termiskin ke-5 di Jawa Timur ini memiliki 98 ribu Ha hutan. Sekitar 40 persen penduduk Bojonegoro menggantungkan kehidupannya dari hasil hutan. Karena itulah, Bupati Bojonegoro memahami mengapa seringkali ada konflik yang terkait dengan hutan. "Waktu saya jalan-jalan ke Lembaga Pemasyarakatan Bojonegoro, 60 persen narapidana dipenjara karena kasus pencurian kayu," katanya.
Karena itulah, meski belum berjalan maksimal, pemerintah Kabupaten Bojonegoro sudah "mengajak bicara" 5 Administratur Kehutanan di Bojonegoro untuk berkomitmen mengurangi konflik yang terkait hasil hutan. Hasilnya, dibentuk 38 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Sayangnya, kenyataan di lapangan berkata lain. LMDH justru tidak memakmurkan masyarakat hutan.
Awal Mei ini, tiga anggota Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue, Nur Cholis dan Kabul Supriyadi turun ke Bojonegoro untuk mencari kejelasan peristiwa itu. Syafruddin Ngulma yang juga Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungn Hidup (Walhi) Jatim ini mengatakan, konflik di sekitar hutan adalah akumulasi pengelolaan hutan yang tumpang tindih di Indonesia.
Misalnya saja regulasi soal tata batas hutan yang hingga saat ini belum dibuat. "Bahkan ada desa yang tiba-tiba saja masuk bagian dari hutan, ini kan jelas tidak benar," kata Syafruddin Ngulma. Di Jawa Timur saja, fungsi kelola 315 hutan lindung yang seharusnya berfungsi sebagai hutan lindung, justru digunakan Perhutani sebagai hutan kelola.
Ironisnya, penataan yang belum baik itu memposisikan masyarakat sekitar hutan sebagai pihak yang dirugikan. Seringkali, masyarakat dituduh sebagai pencuri kayu, saat mereka akan memanfaatkan hutan untuk kehidupannya. "Jangan lupa, UU Agraria menjamin fungsi sosial tanah untuk masyarakat, hasil hutan adalah hak masyarakat yang juga harus dipenuhi," kata Anggota Komnas HAM Nur Cholis.
No comments:
Post a Comment