*Feature
Pandangan sayu Araya tajam menyapu kumpulan demonstran yang mengamuk di depan kantor redaksi salah satu majalah mingguan untuk dewasa, siang itu. Batu yang beterbangan dan menghancurkan kaca jendela, pintu serta peralatan kantor, tidak membuat perempuan berambut panjang menjuntai hingga pinggang itu berhenti melangkah. Menembus gerombolan demonstran dan masuk ke dalam kantor redaksi.
Pandangan sayu Araya tajam menyapu kumpulan demonstran yang mengamuk di depan kantor redaksi salah satu majalah mingguan untuk dewasa, siang itu. Batu yang beterbangan dan menghancurkan kaca jendela, pintu serta peralatan kantor, tidak membuat perempuan berambut panjang menjuntai hingga pinggang itu berhenti melangkah. Menembus gerombolan demonstran dan masuk ke dalam kantor redaksi.
Rupanya, kantor redaksi majalah untuk dewasa itu sedang didemo oleh kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan isi majalah yang dianggap mengumbar nafsu semata. Sayangnya, demonstrasi itu dilakukan dengan cara anarkhi dan merusak. Karenanya, redaksi majalah itu mengundag Araya yang juga seorang Deviant, untuk menyelesaikan persoalan ini.
Di dalam kantor, dua anggota redaksi menyambut Araya dengan gembira. Mereka berharap Araya bisa segera mencari solusi. Araya tidak sendirian, koordinator demonstran diajak serta ke dalam gedung untuk berdialog. Melihat koordinator demonstran berjubah itu berdiri di samping Araya, dua anggota redaksi itu pun berang.
"Bawel! Kalian memanggilku untuk menyelesaikan persoalan ini kan? Yang perlu kalian lakukan hanya menyiapkan bayaranku, selebihnya serahkan padaku,.." kata Araya tak kalah garang. Tiba-tiba, sebuah benda mirip tentakel cumi-cumi keluar dari tangan Araya. Melilit kaki tiga laki-laki yang ada di hadapanya, mengangkat tinggi ke langit-langit kantor, memaksa ketiganya untuk berdamai. Demonstran anarkhis pun menyudahi aksinya, dan redaksi majalah dewasa itu pun mengubah isi majalahnya.
............................
Penggalan kisah tentang Araya adalah salah satu sekuel yang muncul di komik Deviant Execution karya Marico. Dalam dunia komik, nama Marico bisa jadi adalah "anak bawang". Komik pertamanya, Deviant, dicetak pada tahun 2007. Namun, ke-anakbawang-an Marico luruh seketika saat Deviant hadir. Bukan hanya cerita yang disajikan keluar dari bayangan komik kebanyakan, namun, kahadiran Deviant secara utuh benar-benar berbeda.
Dari sisi ide cerita misalnya. Deviant, adalah salah satu sebutan profesi baru yang muncul dalam imajinasi Marico. Profesi yang akan hadir pada abad 28 ini, menurut laki-laki kurus yang gemar bertopi ini diadopsi dari esensi pekerjaan graphic design yang digelutinya selama ini. "Designer graphic hadir untuk menyelesaikan problem kliennya, begitu juga Deviant, bedanya, Deviant tidak melulu soal problem graphic, tapi semua masalah klien bisa diselesaikan," katanya.
Deviant hadir di sebuah negara bernama Donisia (pelesetan Indonesia). Tentu saja, konflik-konflik yang ada pun memiliki persamaan dengan konflik kekinian di negeri ini. Seperti kisah Deviant bernama Araya, yang sangat mirip dengan kisah penyerangan kantor dedaksi majalah Playboy Indonesia oleh Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta. Meski out put-nya jauh berbeda.
Tidak hanya soal ide cerita, Marico juga cerdas mengeksplorasi penggunaan kerta untuk komik miliknya. Dalam Deviant jilid satu, Marico memilih kertas buram tebal, dengan hard cover bersampul di bagian depan. Gambar-gambarnya, sengaja dibikin hitam putih. "Saya ingin komik ini benar-benar berbeda, tidak hanya cerita, namun juga soal kertas yang digunakan," katanya.
Yang paling spektakuler, Marico nekad menciptakan label sendiri untuk komik yang dibuatnya. Bukan label independen, tapi juga bukan major label. Label itu berbentuk huruf M, dengan sedikit modifikasi di bagian atasnya. "Dengan label milik sendiri, saya bisa sepenuhnya berekspresi dengan komik-komik yang saya buat," kata Marico.
Memang, ide baru, piihan kertas dan label milik sendiri tidak berhubungan dengan "pasar" komik yang ada di Indonesia. Deviant misalnya, hanya dicetak 3000 eksemplar. Jumlah yang sangat kecil untuk ukuran Indonesia. "Karena kondisi keuangan saya hanya mampu untuk itu," katanya. Karena itulah, Marico tidak menyoal adanya pembajakan. "Semakin dibajak, semakin saya merasa terhormat, berarti komik saya laku," katanya.
Hadirnya komik lokal Indonesia memang bukan barang baru. Sejak tahun 1970-an, negeri ini sudah mengenal superhero lokal seperti Gundala Putra Petir, Si Buta Dari Goa Hantu dan Panji Tengkorak dll. Masuk ke tahun 1980-an, mulai muncul komik-komik dari Eropa, seperti Tintin dan Asterix. Komik Amerika yang didominasi oleh Marvel mulai datang tahun 1990-an. Superhero seperti Captain Amerika, Spiderman, Superman dll, menjadi "tokoh" baru di Indonesia.
Tidak berselang lama, gelombang komik Hongkong masuk. Sebut saja Tapak Sakti dan Tiger Wong yang sempat menjadi bahan pembicaraan. Begitu juga dengan komik Jepang, yang semakin kuat mencengkeram dunia komik di Indonesia dengan serial televisi dan game. "Seperti Doraemon, Dragon Ball dll, dikenal karena hampir setiap hari diputar di televisi," kata Is Yuniarto dari Wind Rider Production.
Kemana komik Indonesia ketika komik luar negeri menjamur? Sepertinya, komik Indonesia baru bangkit akhir tahun 1990-an. Dengan mengadopsi gaya Manga (sebutan komik Jepang), komik Indonesia kembali hadir. Sayangnya, yang disebut komik Indonesia bukan berarti membawa superhero Indonesia, melainkan mengkolaborasikan superhero Eropa, dengan gaya berperang Amerika, namun bergaya gambar Jepang. "Mungkin hasilnya seperti komik Wind Rider ini," kata Is Yuniarto sedikit berpromosi.
Komik kedua Is Yuniarto berjudul Knight of Opocalypse yang dicetak tahun 2007 coba membuat genre baru dalam dunia gambar. Is memilih memodifikasi Manga dengan gaya gambar Amerika. "Pertaruhannya memang pada pasar, tapi sepertinya pasar akan tetap melahap jenis gambar apapun, asalkan bagus," katanya.
Komikus gaek Beng Rahadian menjadi komikus yang sukses mengangkat tema lokal tentang kondisi kota Jogjakarta. Dalam komik berjudul Selamat Pagi Urbaz, Beng Rahadian menyuguhkan Jogjakarta dalam kacamata komikus. "Tentu saja hasilnya tetap kocak, tapi bila diselami lagi, mau tidak mau Jogjakarta memang telah berubah," kata Beng Rahadian.
Terobosan versi Julian, komikus yang juga koordinator ilustrator di Megindo mungkin bisa dikatakan paling unik. Dirinya memilih untuk menyajikan nilai lokal Indonesia, dalam kemasan komik bergambar Eropa. Hebatnya, komik itu disajikan dalam dua bahasa. "Bahasa kerennya sih, bilingual, sekalian menikmari gambar sekalian belajar berbahasa Inggris, tapi nilai-nilainya tetap Indonesia," katanya.
Benar-benar tak kalah akal ya,..
No comments:
Post a Comment