Zulaika hanya bisa menyandarkan kepalanya di dada ibunya, Syarifah, 40, Jumat (30/11) sore itu. Bayi berusia 11 bulan itu tidak mampu lagi menyangga kepalanya yang membesar, melebihi besar tubuhnya. Sesekali bola matanya bergerak-gerak melihat sekelilingnya. Meski pun mata kecil itu lebih sering memandang ke atas, karena urat matanya tertarik kepala yang makin membesar karena hidrocephalus.
Di antara bertumpuk-tumpuk permasalahan yang dihadapi korban selamat tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), apa yang dialami Zulaika memang tergolong kecil. Problem itu tidak akan membuat program rekonstruksi dan rehabilitasi NAD-Nias yang sedang ditangani oleh BRR terhambat. Namun bagi keluarga Bukhari dan Zulaika, apa yang dialami putri satu-satunya itu bagaikan tersapu gelombang tsunami untuk kedua kalinya. "Ini anak saya satu-satunya, sakit sejak dalam kandungan,.." kata Syarifah tertahan.
Warga Desa Suak Puntong, Kecamatan Sama Tiga, Aceh Barat NAD itu adalah dua dari ribuan korban tsunami di Aceh Barat. Ketika gelombang itu menghajar desanya 26 Desember 2004 lalu, Syarifah kehilangan suami pertamanya. Di hari yang sama, Bukhari pun kehilangan istri pertamanya. "Mereka meninggal dunia dalam peristiwa itu," kenang Syarifah. Nasib mepertemukan Bukhari dan Syarifah dalam sebuah hubungan keluarga baru.
Dalam perkawinan keduanya itu, Bukhari-Syarifah dikarunia satu orang anak. Namun, belum hilang kesedihan karena tsunami, kebahagiaan itu pun terkurangi saat mereka tahu anak semata wayangnya menderita hidrocephalus. "Sejak dalam kandungan, dokter sudah menyatakan ada cairan dalam jumlah besar di kepala anak saya," kata Syarifah. Namun karena begitu sayang pasangan itu kepada anak-anak, keduanya memutuskan untuk tetap menjaga bayi dikandungannya. Rencananya, mereka akan mengobati bayi itu begitu lahir ke dunia.
Setelah sembilan bulan mengandung, bayi yang kemudian diberinama Zulaika itu pun lahir. Rencana mengobati bayi perempuan berkulit putih itu pun dilakukan. Bersamaan dengan pengobatan Bukhari karena terlalu banyak meminum air laut, saat gelombang tsunami menggulungnya. Namun dokter memvonis lain. "Kata dokter, kalau cairan di kepala Zulaika diambil, anak saya bisa buta atau gila," kata Syarifah. Mendung pun kembali memayungi keluarga itu.
Dengan berbagai pertimbangan, Bukhari dan Syarifah memutuskan untuk menyelamatkan Zulaika dengan tidak mengoperasinya. Syarifah lebih memilih Zulaika memiliki kepala besar, dari pada hidup dalam kegelapan karena buta atau gila. "Saya memutuskan untuk tidak mengoperasinya," katanya.
Ironisnya, ketika Zulaika menderita hidrocephalus, ayahnya Bukhari pun menderita berbagai komplikasi. Mulai kencing manis, darah tinggi hingga sakit paru-paru karena terlalu banyak meminum air laut saat tsunami. Bukhari pun memutuskan berhenti bekerja sebagai pekerja serabutan yang selama ini dilakukannya.
Hari berganti. Kepala Zulaika pun semakin membesar. Awalnya, besar kepala bayi itu tidak kentara, namun lama-kelamaan kepala itu pun lebih besar dari tubuhnya. Tak banyak yang bisa dilakukan bayi itu. Bila terbangun dari tidur, Syarifah hanya mampu menggendongnya. Membekap bagian kepala di dadanya. Zulaika pun tak banyak bergerak. Kepalanya menatap ke satu arah. Hanya matanya yang melirik ke sana-kemari.
Bukhari, Syarifah dan Zulaika kini tinggal di rumah jatah korban tsunami yang dibangun oleh salah satu NGO asing di tepi pantai Suak Puntong. Sambil berharap penyakit Zulaika akan sembuh. Entah bagaimana caranya.
Teks foto:
Salah satu korban tsunami, Syarifah (40). warga Desa Suak Puntong, Kecamatan Sama Tiga, Aceh Barat sedang menggendong anaknya, Zualika (11 bulan) yang menderita hidrochepalus (kepala membesar karena cairan). Hingga saat ini Zukaika belum mendapatkan pertolongan.
Salah satu korban tsunami, Syarifah (40). warga Desa Suak Puntong, Kecamatan Sama Tiga, Aceh Barat sedang menggendong anaknya, Zualika (11 bulan) yang menderita hidrochepalus (kepala membesar karena cairan). Hingga saat ini Zukaika belum mendapatkan pertolongan.
No comments:
Post a Comment