Ujung tajam gunting kecil di tangan M.Shodik seperti menari-nari kecil ketika ia membuka jahitan di bagian pinggang celana usang itu. Setelah beberapa simpul jahitan terbuka, ditariknya salah satu ujung benang yang terlepas. Srutt..! Dalam sekejap celana itu pun tak lagi terjahit di bagian pinggangnya. “Bila Ramadhan, order permak jahit saya bisa bertambah, mungkin untuk dipakai saat Lebaran,” katanya mengawali pembicaraan.
Kebiasaan berbusana rapi di saat merayakan Hari Raya Idul Fitri, adalah berkah bagi industri konveksi. Karena hampir pasti, di saat menjelang hari raya bagi umat Islam itu tiba ada tradisi berbelanja baju baru. Namun, di saat yang berba sulit seperti sekarang, ketika semua biaya hidup merangkak naik, memermak busana menjadi lebih baik sepertinya akan menjadi pilihan. Dan bila hal itu tiba, berkah akan pula dinikmati oleh tukang jahit permak baju seperti M.Shodik.
Tidak pasti, sejak kapan usaha jahit permak mulai menjamur. Hanya saja, bagi M.Shodik, tahun 2004 adalah awal baginya berjibaku dengan permak baju. Bersama salah satu teman dari Kediri, Jawa Timur, kota asalnya, M.Shodik mendirikan usaha jahit permak baju. “Tahun itu, pertama kali saya belajar menjahit, lucu juga,..karena sebelumnya saya tidak pernah bisa menjahit,” kenang Shodik yang sebelumnya bekerja sebagai buruh pabrik.
Setahun kemudian, Shodik memilih untuk membuka usaha jahit sendiri. Dengan berbekal uang Rp.150 ribu, dibelinya sebuah mesin jahit bermerk Butterfly. Setelah survey tempat mangkal, anak ke lima dari delapan bersaudara itu memilih membuka “praktek” jahit permak di Jl. Jemursari, Surabaya. Sialnya, tempat yang diperkirakan membawa hoki, justru berbuah bencana. Di tempat itu, Shodik jarang menerima order. Bahkan, suatu malam, mesin jahit yang menjadi andalannya hilang dicuri maling.
Nasib buruk yang menimpa Shodik, tidak membuat laki-laki pendiam ini menyerah. Beruntung, kakak iparnya mendengar kisah pilu hilangnya mesin jahit milik Shodik, dan memberikan salah satu masin jahit usang bermerk sama. “Saat itulah saya memutuskan untuk kembali mengadu nasib, kali ini memilih tempat baru di Jl. Waru, Sidoarjo,” katanya. Di lokasi pinggir rel, 20 meter sebelah utara dari Stasiun Waru itu nasib Shodik sedikit membaik.
Di lokasi yang juga merupakan wilayah pabrik itu, Shodik mulai mendapatkan langganan. Sekali jahit permak, Shodik memasang tarif Rp.5000-Rp.15 ribu. Tergantung seberapa banyak permak yang diinginkan. Dalam sehari, keuntungan yang didapat hingga mencapai Rp.50 ribu. “Alhamdulillah, sejak di sini saya bisa membeli mesin jahit bekas satu kali lagi,” katanya sedikit bangga.
Bila Ramadhan tiba, waktunya Shodik bekerja lebih keras. Biasanya order semakin banyak. Shodik menceritakan, pada Ramadhan hingga Idul Fitri, dirinya sampai bisa menolak order, lantaran tidak mampu mengerjakan order yang menumpuk. “Mungkin, rejeki saya lebih banyak waktu Ramadhan,” katanya. “Lumayan, sekalian untuk biaya mudik ke Kediri,” katanya, sembari terus membuat gunting kecilnya menari-nari.
No comments:
Post a Comment