Minggu (5/8/07) ini, untuk keenam kalinya Jember Fashion Carnaval digelar di Kota Jember Jawa Timur. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan fashion show massal itu mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat kota yang dikenal sebagai Kota Tembakau dan Kota Suar-suir itu.
Sekitar 150 ribu orang menyemut di pinggir jalan protokol yang juga catwalk sejauh 3,6 KM itu. Mereka bersorak ketika defile peserta JFC melintas dari dari Jl.Sudarman hingga Gedung Olahraga (GOR) Kota Jember. Gerimis yang turun malu-malu siang itu pun tidak mereka hiraukan.
Tema besar JFC kali ini, Save Our World benar-benar terasa. Penerjemahan dalam delapan defile, Borneo, Prison, Predator, Undercover, Amazon, Chinese Opera, Anime dan Recycle menajamkan garis perbedaan JFC dengan even fashion yang banyak digelar di berbagai daerah di Indonesia. “Selain tema, jauhnya catwalk yang hingga saat ini masih yang terpanjang di dunia juga yang membuat JFC tetap berbeda,” ungkap Dynand Fariz, pemrakarsa yang juga Presiden JFC pada The Jakarta Post.
KELUAR DARI BERBAGAI KENDALA
Selain fashion show, event ini juga menawarkan berbagai kegiatan positif. Seperti ajang kompetisi fashion, dancer, singer dan presenter hingga kursus in house training fashion yang diberikan secara cuma-cuma. “Lalu sisi negatifnya mana? JFC harus jalan terus,” tanya Dynand. Hingga masuk ke JFC ke-5 pada tahun 2006 lalu, penolakan masih terasa. Bahkan semakin besar. Tapi dibalik itu, justru JFC pada tahun itu sekaligus sebagai salah satu momentum tinggal landas bagi fashion show yang dilaksanakan di kota berjarak 222 KM dari Surabaya itu. Pada tahun itulah, JFC mulai mendapatkan undangan untuk tampil di berbagai event busana.
Beberapa event besar yang patut dibanggakan adalah Kongres International di Bandung, Pawai Budaya di Istana Negara Jakarta, Kuta Carnival di Bali, Bali Fashion Week, Kutai kertanegara Parade dan Jambore Pramuka International di London Inggris. “Bukan omong kosong, sambutannya sangat meriah,” kenang Dynand.Laki-laki asli Jember itu menceritakan, di Jambore Pramuka International di London Inggris busana JFC yang dikenakannya sempat dinilai sebagai busana yang “tidak lazim”. Beberapa pengunjung dan wartawan asing di London mempertanyakan hal itu kepada Dynand. “Waktu itu saya perform baju bertema Bali, banyak yang bertanya, kok saya tidak melihat desai baju ini di Bali, padahal saya pernah ke sana,” kata Dynand menirukan.
AJANG BAGI DESIGNER MUDABusana karya Eko didominasi warna merah menyala. Dengan jubah dan topi yang menawarkan kemegahan baju kekaisaran China pada abad ke 13. Belum lagi tongkat, sepatu dan asesoris lain yang senada dengan baju yang dikenakan. “Saya terinspirasi film Kera Sakti, saya mencoba membuat baju seperti yang dikenakan tokoh di film itu, tentu saja, dengan tambahan-tambahan lain,” kata lulusan sekolah mode Esmod Jakarta ini pada The Jakarta Post.
Yang menarik, Eko mengkolaborasikan baju rancangannya dengan tambahan lain, seperti kawat kassa nyamuk sebagai topi, kemucing (pembersih debu) sebagai tanduk atas, serta kain-kain perca yang dipotong dengan motif yang senada dengan Chinese Opera. Hasilnya, sebuah jubah kaisar China seberat 10 kg pun tercipta untuk komandan defile Chinese Opera JFC.Prasetyo, designer muda lain yang juga menyajikan karyanya dalam JFC ke-6 lebih memilih tema Amazon. Laki-laki pendiam ini menyajikan sebuah baju yang sepintas terkesan dingin, mengerikan namun tetap indah. Padahal, baju yang didesignnya berasal dari kain karpet, terpal, keset dan sabut kelapa. “Kuncinya pada cara memotong yang seirama dengan daun-daun yang ada di hutan Amazon,” kata pemuda yang akrab dipanggil Pras ini.
Lain lagi dengan Arif Trifajar Setyawan, 14 dan Oki Guntur Dwi Permadi, 14. Dua anak siswa Sekolah Menengah Pertama di Jember ini rela mengorbankan barang yang paling berharga demi JFC. Aris misalnya, mengorbankan seragam pencak silat miliknya untuk diubah menjadi busana bernuansa China. Sementara Oki, lebih suka mempraktekkan pelajaran Tata Busana yang didapatkannya di sekolah.Hasilnya pun tidak mengecewakan. Bagi Frank Abi asal Swis, petunjukan JFC yang dilakukan di Jember sangat menarik. “Its lovely, beautiful, joyful, entertaining and diverent,” kata Frank pada The Jakarta Post. Sepertinya JFC adalah tradisi baru di Jember yang harus diteruskan.
Teks foto: Dynand Fariz dalam World Jambore 2007 di London Inggris.Foto by: Dynand Fariz Center
mbung, nulis itu, iki nek menurut aku...santeeee.
ReplyDelete