Makan bersama setelah tuntutan perbaikan jatah makan dipenuhi, Selasa (15/5).
Aksi mogok makan yang dilakukan 40 orang pengungsi korban lumpur Lapindo Brantas Inc berakhir, Selasa (15/5) ini. Setelah Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Sidoarjo menawar tuntutan pengungsi untuk memperbaiki kualitas jatah makanan dengan membayar uang cash, menjadi pemberian bahan makanan yang akan dimasak sendiri oleh pengungsi, senilai Rp.15,000/orang/hari.
Akhir dari mogok makan massal itu ditandai dengan aksi syukuran makan bersama pengungsi di Pasar Baru Porong, Sidoarjo Selasa ini sekitar pukul 10.00 wib. Dengan ditemani anak dan istri, pemogok makan yang kebanyakan laki-laki itu menyantap nasi kuning bungkus yang dibagikan Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo. "Ini adalah bukti bahwa mogok makan pengungsi tidak bertujuan memperoleh uang saja, melainkan jatah makan yang layak," kata Purwanto, salah satu pemogok makan pada The Post, Selasa ini.
Purwanto menceritakan, kesepakatan itu didapat setelah terjadi dialog alot antara Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Camat Renokenongo dan Petugas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)beserta perwakilan pemogok makan di Sidoarjo, Senin (14/5) malam. Dalam pertemuan itu, pemogok makan yang ngotot perbaikan jatah makan ditawar dengan pemberian bahan makanan. "Awalnya, kami tidak mau, tapi karena uang cash yang kami minta tidak dikabulkan akhirnya kami tidak ada pilihan selain menerima bahan makanan," ungkap Purwanto.
Laki-laki yang juga dianggap sesepuh warga itu menambahkan, meskipun menerima tawaran Dinas Sosial, bukan berarti warga Renokenongo akan menghentikan bersikap kritis kepada pelayanan dinsos di lokasi pengungsian Pasar Baru Porong. "Kami akan melihat, apakah dinsos benar-benar memberikan bahan makanan seharga Rp.15.000,- atau tidak, kalau tidak, maka kami tidak akan ragu melakukan mogok makan lagi," katanya. Bahan makanan itu berupa beras, lauk pauk layak dan sayur mayur.
Warga juga sudah mempersiapkan mekanisme pengolahan dengan memilih orang-orang yang dianggap bisa memasak dengan baik. Selama ini, dapur umum yang digunakan untuk memasak jatah makan, ditangani oleh orang-orang yang dianggap warga tidak bisa menyajikan makanan dengan baik. Setiap hari warga hanya diberi makan nasi (yang seringkali kurang matang), ikan asin dan kuah sayur tanpa sayuran.
Sementara itu, hingga Selasa (15/5) ini, tim verifikasi tanah warga empat kecamatan yang sudah ditetapkan seminggu lalu oleh Menteri Sosial Bachtiar CHamsyah belum juga bekerja. Bahkan, Tim yang dibentuk berdasarkan Keputusan Dewan Pengarah BPLS yang terdiri dari petugas Badan Pertanahan, Pemkab Sidoarjo, Kepolisian, Kejaksaan, Kantor Pajak Bumi dan Bangunan serta Notaris itu bahkan belum pernah bertemu untuk membahas agenda kerja.
Hal itu membuat warga gelisah, karena khawatir Tim Verifikasi tidak akan bisa memenuhi target pembayaran gantirugi tanah dan bangunan yang dideadline warga harus terbayar semua pada 29 Mei mendatang. "Sampai saat ini, Tim Verifikasi itu belum terbentuk, bagaimana mereka bisa segera merealisasikan pembayaran hak warga korban lumpur hingga 29 Mei mendatang," kata Joko Suprastowo pada The Post, Selasa.
Tugas Tim Verifikasi tergolong berat. Yaitu meneliti dan memeriksa keabsahan bukti kepemilikan warga atas sawah, pekarangan dan bangunan yang tenggelam oleh lumpur Lapindo Brantas Inc.Termasuk memeriksa secara detail bentuk dan luas bangunan berdasarkan surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) berdasarkan data awal yang dikumpulkan tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Langkah itu diambil karena kebanyakan tanah warga masih berstatus tradisional Petok D dan Letter C, yang tidak diakui secara nasional yang menggunakan sertifikat sebagai bukti sah kepemilikan. Hasil verifikasi itu akan dilegalisir oleh notaris dan Bupati Sidoarjo, yang kemudian menjadikan hasil verifikasi memiliki posisi hukum yang sama dengan sertifikat.
"Perlu diingat ada ribuan surat tanah warga yang harus diverifikasi, namun hingga saat ini belum dilakukan, bagaimana bisa selesai? Harus berapa lama lagi kami harus menunggu," kata Joko. Karena itu, Joko tidak bisa menyalahkan bila pada 29 Mei yang juga bertepatan dengan peringatan Setahun Semburan Lumpur Lapindo, warga akan marah dan menggelar demonstrasi besar. "Kami sudah capek, sudah satu tahun hak kami diombang-ambingkan," katanya.
No comments:
Post a Comment