Kemerdekaan pers Indonesia yang sudah susah payah diperjuangkan, mendapatkan ancaman serius. Ancaman itu berasal dari pemerintah melalui lima hal. Pembuatan RUU Rahasia Negara, Peraturan Presidan (Perpres) Perlindungan Pejabat Negara, RUU Kitap Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Tujuh Peraturan Pemerintah (PP) Penyiaran dan agenda Menkominfo Sofyan Djalil untuk merevisi UU Pers.
Catatan kritis itu disampaikan Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara di Surabaya, Sabtu(7/4) ini di Surabaya. "Fakta menunjukkan, di RUU KUHP saja ada 61 pasal yang dapat memenjarakan wartawan, melalui RUU Rahasia Negara ada pembatasan akses pers mendapatkan informasi dan Sofyan Djalil mengatakan tahun 2007 UU Pers akan direvisi, ini cerminan pemerintah belum menghargai kemerdekaan pers," kata Leo Batubara.
Menurut Leo apa yang dilakukan Pemerintah SBY itu intinya akan pembali memposisikan pemerintah sebagai pihak yang bisa mengontrol dan mengendalikan pers. Bila hal itu terjadi, maka kontrol sosial pers akan lumpuh. "Wartawan-wartawan yang masih berani melakukan kontrol sosial harus siap masuk penjara dan medianya menderita," jelasnya.
Seringkali, alasan untuk membatasi pers itu berdasarkan argumentasi bahwa pers "kebablasan". Paradigma itu juga yang kemudian memunculkan pemikiran untuk mengatur pers dan pihak-pihak yang seringkali dirugikan oleh pers, seperti pejabat negara. "Padahal, cara lain yang bisa dilakukan akan mendorong profesionalisme pers," kata Leo.
Upaya yang bisa dilakukan adalah mendorong terselenggaranya lembaga pendidikan kejurnalistikan (schools of jurnalism). Lembaga ini yang akan memasok wartawan profesional yang dibutuhkan oleh industri media. "Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendorong hal itu adalah menerapkan kebijakan no tax on knowledge," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bimo Nugroho Sekundatmo mengingatkan kembali tentang langkah Pemerintah SBY yang berusaha mengembalikan otoritas pemerintah untuk mengatur lembaga penyiaran. Pemerintah mendorong dirinya untuk menempati posisi utama pemberian ijin penyiaran. Termasuk alasan mencabutnya. "KPI mengecam sikap
Presiden SBY karena menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) itu," kata Bimo.Hal lain, yang patut diperhatikan ada kebijakan pemerintah yang mengebiri hak masyarakat untuk secara bebas dan nyaman dalam mendapatkan informasi. Yaitu dibatasinya relai radio komunitas hanya pada tema acara kenegaraan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di bali itu, pemerintah memperbolehkan siaran berlangganan untuk menerima iklan.
"Masyarakat sudah membayar untuk bisa menikmati siaran berlangganan tanpa diinterupsi iklan, tapi pemerintah justru memperbolehkan hal itu, padahal UU Penyiaran sudah mengatakan tidak memperbolehkan iklan dalam Lembaga Penyiaran Berlangganan," kata Bimo.
*photo by yahoo.image
No comments:
Post a Comment