Ainur mempercepat kayuhan pedal ketika sepeda beroda dua yang dikendarainya menapaki jalan aspal, Sabtu (31/03). Dengan cekatan, anak berusia sembilan tahun itu mengemudikan sepeda kecil itu dengan berkelok-kelok, menikmati halusnya jalan beraspal yang dibangun tahun 2001 itu. Sesekali, tubuhnya membungkuk, membiarkan sepedanya melaju seiring angin yang berhembus ke arahnya. "Seperti pesawat terbang," katanya.
Jalan aspal yang hampir setiap sore digunakan sebagai arena bermain Ainur dan teman-temannya itu, adalah runway lapangan udara Banyuwangi. Letaknya di Desa Blimbingsari, Kecamatan Ronggojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Lapangan terbang yang awal direncanakan tahun 1995 itu, hingga 12 tahun berselang, belum juga selesai dibangun.
Mantan Bupati Banyuwangi Purnomo Sidik adalah orang pertama yang merencanakan pembangunan lapangan terbang Banyuwangi. Ketika itu, Purnomo membayangkan Banyuwangi sebagai kota kedua, setelah Surabaya, yang memiliki lapangan terbang sipil. Namun, rencana itu harus tertunda pelaksanaannya karena pada masa yang sama, Indonesia dirundung berbagai persoalan nasional. Mulai krisis ekonomi hingga peralihan kepemimpinan nasional.
Tahun 2001, ketika mantan Bupati Banyuwangi Samsul Hadi berkuasa, rencana itu coba direalisasikan. Samsul beruntung. Pada masa yang sama, Pemerintah Pusat berencana untuk memperbaiki wajah transportasi udara Indonesia dengan membangun beberapa bandara baru. Tidak tanggung-tanggung, Departemen Perhubungan RI mengeluarkan Keputusan Menteri no.49 tahun 2003 tentang penetapan lokasi bandar udara.
Jawa Timur kebagian lima bandar udara baru. Di Kabupaten Malang, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Sumenep (Madura), Kabupaten Gresik (Bawean) dan Kabupaten Jember. Namun, hanya bandara Banyuwangi yang ditetapkan sebagai bandara yang biaya pembangunannya akan didukung penuh oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Banyuwangi menyambut hal itu dengan antusias. Sebuah tim pun dibentuk untuk merealisasikan hal itu. Tim ini pula yang kemudian melakukan survey lokasi di empat tempat dan kemudian menetapkan Desa BLimbingsari sebagai tepat dibangunnya bandara Banyuwangi.
Secara geografis, Desa BLimbingsari dianggap ideal. Dengan ketinggian 20-30 meter di atas permukaan laut dan topografi yang kurang dari satu persen (datar), dinilai memudahkan pembangunan landasan. Meski jaraknya tergolong jauh, sekitar 21 KM dari pusat kota Banyuwangi, namun posisi yang dekat dengan pantai dan selat Bali tetap dianggap paling pas.
Realisasi pembangunan bandara terus dilakukan. Pada tahun 2006, sudah Rp.48 miliar (Rp.37 miliar dari APBD Banyuwangi dan Rp.11,5 miliar dari APBN) dikeluarkan untuk membangunan bandara. Dengan dana itu dibangun runway (900 x 23 meter), taxyway (75 x 15 meter) dan apron (60 x 40 meter). Selain itu, sudah terbangun pula gedung operasional, gedung genset, kantor administrasi, gedung workshop, gedung PKP-PK serta terminal pemberangkatan dan kedatangan.
Tahun ini, kembali akan diguyur Rp.29,1 miliar lagi untuk pembebasan lahan, pembangunan gedung meteorologi dan gedung komersial. "Pada tahun 2007, runway akan ditambah menjadi 1400 meter," ungkap Bambang Wahyudi, Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Banyuwangi pada The Post, Sabtu (31/03) ini. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi percaya, target rencana operasional bandara yang akan dilakukan Oktober 2007 akan terealisasi. Apalagi, sudah ada maskapai penerbangan Merpati Nusantara Airlines yang bersedia membuka jalur penerbangan baru ke Banyuwangi.
Meski terkesan mulus, bukan berarti pembangunan bandara Banyuwangi dilakukan tanpa kendala. Persoalan sempat muncul ketika tim melakukan pembebasan lahan. Terutama harga tanah yang tiba-tiba melonjak ketika sosialisasi pembangunan bandara dilakukan. "Bahkan ada yang meminta Rp.200 ribu per meter, dari harga Rp.60 ribu yang kita tetapkan," kata Bambang Wahyudi, Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Banyuwangi pada The Post, Sabtu (31/03) ini. Namun, hal itu tidak sampai membuat pembiayaan membengkak. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memilih menyelesaikan persoalan itu melalui jalur hukum. "Tidak bisa tidak, persoalan akan diselesaikan di pengadilan," katanya.
Hal lain yang sempat menjadi persoalan adalah tidak disiapkannya sumber daya manusia (SDM) di Banyuwangi untuk memsuport kebutuhan SDM ke-bandara-an. Meskipun untuk menutup kebutuhan ini pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menyekolahkan tiga pegawainya ke Sekolah Penerbangan Curug, Jawa Barat. "Dua orang di jurusan Manajemen Bandara, dan seorang lagi di manajemen keselamatan penerbangan," kata Bambangnya.
Aekanu Hariyono dari Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi bisa jadi adalah satu orang yang paling berbahagia, bila bandara Banyuwangi benar-benar sudah beroperasi. Karena dirinya merasa bandara adalah salah satu kunci dari peningkatan kepariwisataan di kota yang terkenal dengan sebutan Tanah Blambangan ini. "Seringkali, program kepariwisataan yang kami lakukan terbentur dengan persoalan transportasi, sepertinya semua persoalan itu akan hilang dengan adanya bandara Banyuwangi," katanya.
Tidak adanya support total dari pemerintah pusat atas kegiatan di pariwisata di Banyuwangi, menurut Aekanu bisa jadi karena pemerintah tahu jumlah kunjungan pariwisata di Banyuwangi tidak akan meningkat karena persoalan jarak. "Pernah ada pagelaran surfing tingkat dunia di G-Land dengan mendatangkan surfer dunia, tapi tidak disupport pemerintah pusat," katanya.
No comments:
Post a Comment