Hal itu dikatakan Ketua Pelaksana Harian Komite Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional Nafsia Mboi di sela-sela pembukaan Pertemuan National HIV & AIDS ke III di Surabaya.
"Hingga saat ini ARV hanya bisa di dapatkan di 153 rumah sakit di 28 provinsi di seluruh Indonesia, padahal kebutuhan kita tidak hanya ditingkat provinsi, melainkan sampai kabupaten/kota," kata Nafsia Mboi. Karena kondisi itulah, KPA Nasional mengagendakan penyebaran ARV hingga ke tingkat puskesmas. Hanya saja, penyebaran ARV tidak bisa dilakukan sembarangan. Karena perlu ada pelatihan penanganan HIV&AIDS bagi paramedis di daerah.
Bila tidak, maka adanya obat AIDS ARV tidak akan berdampak banyak. "Perlu ada pelatihan penanganan HIV&AIDS di tingkat puskesmas agar penggunaan ARV bisa lebih efektif," katanya. Setelah itu dilakukan kontroling yang ketat untuk mengetahui peta perkembangan HIV&AIDS di Indonesia.
Penyebaran ARV juga dilakukan berdasarkan data KPA Nasional tentang kabupaten/kota yang memiliki jumlah penderita HIV&AIDS terbanyak. Di Indonesia, terdapat 158 kabupaten kota di beberapa provinsi yang mengalami peningkatan jumlah penderita HIV&AIDS. Di antaranya, Jakarta, Papua, Jawa Timur dan Jawa Barat. "Identifikasi itu yang menentukan penyebaran ARV, daerah dengan jumlah penderita HIV&AIDS terbanyak akan diberikan ARV terbanyak pula," jelasnya.
Karena pentingnya data dari pemerintah kabupaten/kota tetang jumlah penderita itu, Nafsia Mboi mengharapkan adanya keterbukaan pemerintah kabupaten/kota tentang kondisi riil di daerahnya. "Sekarang saya melihat, pemerintah kabupaten/kota lebih terbuka dan mendukung program penanggulangan HIV&AIDS," katanya.
Pada The Jakarta Post, aktivis HIV&AIDS Baby Rivona mengatakan, banyak hal buruk terjadi ketika ARV tidak terjangkau oleh pengidap HIV&AIDS. Baby menceritakan, di Papua dan Kalimantan, banyak pengidap HIV yang harus menempuh jarak berkilo-kilo meter hanya utuk mendapatkan ARV. "Mereka bahkan harus naik perahu melalui sungai, naik gunung dan lembah hanya untuk mendapatkan obat itu," kata Baby.
Sialnya, obat itu harus diminum secara kontinyu. Jauhnya jarak dan sulitnya akses ke lokasi, membuat banyak penderita HIV malas untuk melanjutkan terapi obat. "Karena sulitnya mendapatkan ARV, terapi pun berhenti, maka pengidap HIV cepat masuk ke fase AIDS," katanya. Pada ujungnya, jumlah penderita HIV&AIDS di daerah-daerah sulit, namun jumlah pengidap HIV banyak, seperti Papua, akan semakin sulit memperbaiki keadaan.
Dalam pembukaan Pertemuan National HIV&AIDS itu, Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Abu Rizal Bakrie mengingatkan pentingnya pemahaman masyarakat atas hubungan HIV&AIDS dengan narkoba. Khususnya penggunaan narkoba suntik atau injection drug user (IDU) yang diidentifikasi Badan Narkotika Nasional sampai 542 ribu orang.
"Dari seluruh pengguna narkoba suntik, 50-60 persen terkena HIV," kata Abu Rizal Bakrie. Di samping penyakit lain seperti hapatitis C dan hapatitis B. Kondisi itu mendorong pemerintah untuk menepatkan target IDU ke dalam program penanggulangan AIDS nasional. Pada tahun 2010, diharapkan 80 persen IDU terjangkau oleh pemahaman tentang pentingnya menggunakan jarum suntik steril.
Selain penggunaan jarum suntik, HIV&AIDS juga tidak bisa dilepaskan dari prilaku seks bebas yang mulai banyak dilakukan. Abu Rizal mengingatkan perlunya menggunakan kondom untuk orang-orang yang punya kebiasaan gonta-ganti pasangan. "Saya tidak menyarankan seks bebas, tapi kalau tidak bisa menahan, mendingan menggunakan kondom," kata Abu Rizal Bakrie. Karena pentingnya posisi kondom ini, Abu Rizal dalam kesempatan itu sekaligus mensosialisasikan kondom perempuan.
05 February 2007
Penyebaran obat AIDS ARV mendesak dilakukan
Penyebaran obat AIDS antiretroviral (ARV) di seluruh Indonesia mendesak dilakukan. Karena hingga saat ini, obat yang merupakan cara satu-satunya untuk mempertahankan kondisi tubuh orang dengan HIV itu, tidak terangkau oleh pengidap HIV yang banyak tersebar di daerah.
No comments:
Post a Comment