Selain Presiden Sby, pengungsi sambas juga menggugat mantan Presiden RI Megawati Soekarno Putri, Kepala Dinas Sosial Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Bupati Bangkalan, Madura. Gugatan itu dilakukan Senin (29/01) ini di PN Surabaya. Dalam persidangan perdananya, sejumlah 52 KK perwakilan pengungsi yang mendatangi PN Surabaya untuk memberikan dukungan. "Kami jauh-jauh dari Bangkalan untuk menuntut hak-hak kami yang tidak diberikan oleh negara," kata Misna Bin Saiman, juru bicara pengungsi.
Misna Bin Saiman menceritakan, salah satu hak yang tidak diberikan oleh Presiden RI dan jajarannya itu salah satunya adalah tidak dibayarnya jatah hidup berupa uang Rp.1500 dan beras 4 ons/jiwa/hari sejak tahun 2002-2004. Padahal menurut peraturan pemerintah provinsi Jawa Timur, ribuan pengungsi itu harus mendapatkan jatah hidup. "Tapi selama ini jatah hidup itu sama sekali tidak pernah kita terima," ungkap Misna.
Akibatnya, mulai tahun 2002 hingga sekarang, pengungsi Sambas hidup dalam keterbatasan. "Karena konflik itu, kami tidak hanya kehilangan nyawa kerabat-kerabat kami, tapi juga pekerjaan dan harta yang kami miliki," kata Misna. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, kebanyakan dari pengungsi memilih untuk menjalani pekerjaan serabutan. "Sebagian besar menjadi kuli angkut di pelabuhan," katanya.
Ribuan warga keturunan Madura ini terusir dari Sambas, Kalimantan Barat karena konflik etnis dengan Suku Dayak. Konflik yang menyisakan luka dan hingga kini belum tuntas penanganannya itu memaksa ribuan warga keturunan Madura untuk pergi dari Sambas dan kembali ke Pulau Madura. Keputusan itu terpaksa diambil karena bila tidak, serbuan dari Suku Dayak akan membuat mereka terbunuh.
Lijah, 45, salah satu pengungsi asal Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat mengaku hingga sampai saat ini peristiwa yang terjadi di Sambas itu masih belum bisa terlupakan. Dia, dan ketujuh anggota keluarganya harus rela terusir dari tempat kelahirannya.
"Saya dan keluarga dikejar-kejar, hingga kami harus mengungsi ke Pontianak dengan menggunakan bus," kata Lijah pada The Jakarta Post. Di Pontianak, Lijah dan keluarganya menunggu angkutan ke Madura, pulang ke pulau tempat hampir seluruh keluarga besarnya berkumpul. Dan menjadi pengungsi.
Meski menjadi pengungsi, penderitaan warga usiran Sambas pun belum berakhir. Tidak adanya tempat tinggal dan pekerjaan menjadi persoalan utama. "Kebanyakan pengungsi yang biasanya bekerja di ladang dan sawah terpaksa menjadi buruh angkut dan kerja serabutan," kata perempuan yang suaminya, Bereg, meninggal dunia di pengungsian ini.
Nuruddin, 50, salah satu pengungsi mengatakan, tidak adanya pekerjaan memaksa anak laki-lakinya menjadi tenaga kerja wartawan ilegal di Malaysia. "Anak saya pergi ke Malaysia dengan biaya sendiri, belum seminggu di sana, dia ditangkap oleh polis Malaysia sampai sekarang," katanya. Untuk memenuhi kebutuhannya, Nuruddin mengerjakan pekerjaan kasar, seperti membersihkan kandang ternak. "Apapun saya kerjakan untuk bertahan hidup,"katanya.
Majelis Hakim PN Surabaya yang memimpin persidangan Yusuf Wahab menunda persidangan karena pihak tergugat, Presiden Sby, Mantan Presiden Megawati Sp, Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dan Bupati Bangkalan tidak hadir dalam persidangan itu. "Ini aturan persidangan perdata," kata Yusuf Wahab singkat.
29 January 2007
Pengungsi Sambas gugat Presiden RI
Sejumlah 170 pengungsi mewakili 1800-an pengungsi konflik Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar) tahun 1999, menggugat perdata Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Rp.1,8 trilyun. Gugatan itu dilayangkan karena pemerintah dianggap melanggar pasal 13 tahun 1965 KUH Perdata tentang perbuatan melanggar hukum. Salah satunya, tidak melaksanakan kewajiban sebagai pemerintah yang seharusnya melindungi dan mensejahterakan warga negaranya.
No comments:
Post a Comment