Tidak ada orang waras di seluruh dunia, yang tidak menyesalkan insiden yang terjadi di sela-sela kondisi Indonesia yang tengah dirundung duka bertubi-tubi ini. Terutama bila kita menilik sejarah, betapa aktivis mahasiswa dan jurnalis ibarat dua pedal sepeda yang satu sama lain saling membutuhkan. Ketika ”pedal” aktivis mahasiswa mengayuh dengan isu-isu konstruktif yang dibuatnya, ”pedal” jurnalis berada di belakang untuk meliputnya.
Ketika ”pedal” jurnalis berada di depan untuk melanjutkan (baca: memberitakan) pada masyarakat, ”pedal” aktivis mahasiswa berada dibelakang untuk melihat efek dari langkah yang sudah dibuatnya. Bila keduanya berjalan dengan baik, akan tercipta sebuah gerakan ”rantai” solidaritas dan kesadaran masyarakat. Langkah selanjutnya adalah berputarnya ”roda” kehidupan yang membuat seluruh kondisi berjalan maju, seperti sepeda yang melaju kencang.
Ingat bagaimana aktivis mahasiswa dan pers saling bahu-membahu di jalan perjuangan menuju kemerdekaan. Atau ketika pers mendukung gerakan mahasiswa di tahun 1966. Dan yang paling fenomenal, bagaimana mahasiswa dan pers berperan aktif dalam gerakan reformasi 1998. Semoga bulan madu mahasiswa dan pers ini tidak mudah dilupakan.
Tapi yang terjadi Kamis itu, tidak demikian adanya. Entah mengapa, sebuah kesalahan sejarah terjadi. ”Pedal” yang seharusnya mengayuh, justru menabrak ”pedal” jurnalis. Merasa tertabrak, ”pedal” jurnalis pun balas menabrak. Ratai solidaritas masyarakat yang seharusnya bisa terbangun akhirnya rontok. Sepeda pun untuk sementara berhenti melaju. Siapa yang salah? Tidak ada. Hanya sebuah kealpaan sesaat.
Kawan-kawan mahasiswa mungkin lupa, pers punya mekanisme untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan yang dibuatnya. Lihat UU no.40 tahun 1999 tentang Pers, pada Pasal 5. Pada ayat dua dan ayat tiga menyebutkan Pers wajib melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi. Artinya, lihat Pasal 1, Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Sementara Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Nah, berbicara soal ketidaksetujuan tentang pemberitaan pers, harusnya melakukan sesuatu yang sesuai pasal-pasal itu. Kalau hal itu masih dianggap tidak memuaskan, bisa melakukan dialog dengan anggota redaksi atau Tim Obudsman untuk memberikan penjelasan yang dianggap benar. Bila kurang memuaskan juga, laporkan lembaga pers yang dimaksud ke Dewan Pers. Dewan Pers akan ”mengadili” media yang bersangkutan. Mekanisme di atas adalah mekanisme yang juga dipakai di seluruh dunia (pada negara-negara yang coba berdemokrasi tentunya), untuk menyesaikan sengketa dengan pers.
Untuk teman-teman jurnalis. Kealpaan yang mungkin hinggap dalam benak jurnalis ketika itu adalah memandang demonstrasi sebagai demonstrasi. Demonstrasi adalah langkah yang diambil akibat buntunya saluran komunikasi yang ada. Nah, kita tentu ingat bagaimana psikologi massa ketika demonstrasi terjadi. Semangat yang memuncak, berpadu dengan sinar matahari yang terik dan keringat yang mengucur, akan menciptakan efek-efek temporer. Kalimat-kalimat pendek dan to the point meluncur begitu saja dari seorang orator.
Lihat saja bagaimana demonstran dengan santainya melantunkan lagu,”Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,...Tidak Berguna,...Lupakan Saja,...Diganti Menwa,...Ya Sama Saja,..Lebih Baik Diganti Pramuka,..”. Bahkan, ada kalimat-kalimat lebih pedas yang dinyanyikan dengan santai. Wah, bisa kita bayangkan betapa merah telinga orang-orang yang mendengarnya.
Atau, dengan tindakan-tindakan yang secara hukum jelas melanggar. Ingat bagaimana demonstran menentang AS dan Israel membakar bendera dua negara itu? Atau mencoreng moreng atau membakar gambar mantan pejabat yang mereka lawan? Tapi begitulah demonstrasi. Lugas dan apa adanya. Saya yakin, kawan-kawan jurnalis ingat betul dengan lagu-lagu itu. Sebagian dari jurnalis mungkin juga seorang demonstran dikala muda.
Ketika demonstran dengan kealpaannya mengkritik pers, mungkin kalimat yang terlontar bukan kalimat seperti orang yang berdiskusi, melainkan kritik lugas, pedas bahkan terkesan menghina. Mengapa jurnalis lantas mempersoalkan hal itu? Sekali lagi, itulah bahasa demonstran, bahasa jalanan.
Oke. Nasi memang sudah menjad bubur. Tidak ada persoalan yang selesai dengan jalan kekerasan. Saya yakin, jauh dilubuk hati kawan-kawan mahasiswa dan kawan-kawan jurnalis yang Kamis lalu sempat bersitegang, ada penyesalan. Seperti ketika kita bentrok dengan saudara kandung kita. Mari membuka lembaran baru. Berjabat tangan dengan saudara sekandung, jelas lebih mulia dari pada terus mengobarkan bendera peperangan.
Alhamdulillah, langkah ke arah perdamaian sudah terintis. Mahasiswa dan jurnalis yang sama-sama menjadi korban kejadian ini mencabut laporannya. Keduanya sepakat untuk saling memaafkan atas kekeliruan sejarah yang Kamis kelabu lalu pecah di tengah demonstrasi mahasiswa.
Ingat kawan, masih banyak persoalan rakyat yang harus kita pikirkan dan kita bela bersama-sama. Hingga pedal kembali saling mengayuh, rantai solidaritas kembali menguat dan sepeda bisa melaju kencang. Wuss...Hidup Mahasiswa! Hidup Jurnalis!
23 September 2006
Mahasiswa vs jurnalis, bentrokan dua saudara se-kandung
Artikel ini sengaja ditulis, sehari setelah peristiwa bentrokan antara aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan jurnalis terjadi di sela-sela demonstrasi di depan kantor Pemerintah Propinsi Jawa Timur, Kamis (21/09) lalu. Karena memerlukan check and richeck dari kedua belah pihak, sebelum berbicara dalam pertanyaan besar: Mengapa Dua Saudara se-Kandung (aktivis mahasiswa dan jurnalis) bisa bentrok? Jawabnya sederhana: Nasi sudah menjadi bubur, bagaimana cara menciptakan bubur yang lezat dan bermanfaat.
No comments:
Post a Comment